Di dalam agama
Islam setiap perbuatan baik selalu kita memulai dengan Lafal Bismillahirrahmanirrahim, atau yang
dikenal dengan basmalah, lafal ini mempunyai arti (Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pengasih dan Penyanyang).
Sehingga, dengan
mengucapkan basmalah, praktis kita memohon pertolongan dan petunjuk Allah atas
apa yang akan kita kerjakan, karena dalam basmalah terkandung makna pengasih dan penyayang yang merupakan cerminan sifat Allah SWT.
Justru itu,
menempatkan basmalah dalam mengawali perbuatan buruk dinilai sangat
bertentangan dengan esensi dari basmalah. Memulai aktivitas dengan basmalah, seperti
pandangan Prof. Quraish Shihab yang disitir Abdillah Toha dalam bukunya Buat
Apa Beragama? Renungan Memaknai Religiusitas di Tengah Kemodernan, dikatakan bahwa
titik tolak segala sesuatu adalah Allah, dilakukan demi Allah, dan tak akan
terlaksana kecuali dengan izin dan pertolongan-Nya.
Petunjuk ini
Allah SWT sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan diwujudkan dalam al-quran,
sehingga dari seluruh surat dalam al-quran kecuali surat At-Tawbah diawali
dengan bismillahirrahmanirrahim, ini merupakan
simbol bahwa Islam sangat mengedepankan dan mengutamakan kasih sayang dalam
menjalani kehidupan, yang terintegrasikan dalam konsep hablumminallah dan hamblumminnas.
Pada tulisan ini
penulis tidak melihat basmalah dalam perspektif umum sebagaimana dijelaskan
pada sejumlah tafsir dan disampaikan kebanyakan penulis, tapi penulis lebih
menyoroti pada frasa rahman dan rahim yang maknanya kerap kita abai, lantaran
kondisi saat ini, kita dalam menjalani aktivitas, diawali dengan melafalkan
basmalah, namun berimplikasi pada melahirkan sentimen personal, maupun kelompok,
dan memunculkan tindakan yang bertentangan dengan makna rahman dan rahim yang
terkandung dalam basamalah.
Merujuk pada
pandangan yang disampaikan Prof. Quraish Shihab, khususnya di Maluku Utara, makna rahman dan rahim yang
terkandung dalam ungkapan basmalah
benar-benar diaktualisasikan oleh kaum tua dalam laku keseharian, mereka
menganggap lafal basmalah sebagai
ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ubudiah.
Sehingga, apapun
yang dijalaninya benar-benar mengacu pada makna rahman dan rahim. Justru
itu, pada semua aspek kehidupan, ucapan yang disampaikan selalu didukung dengan
tindakan, hal ini lantaran mereka “sangat takut” melanggar apa yang telah
mereka ucapkan, untuk itu, jarang kita mendengar tindakan mereka memunculkan
sentimen personal maupun tindakan yang merugikan orang lain, karena mereka
sangat menjunjung makna yang terkandung
dalam basmalah, ungkapan sarat makna -- pengasih dan penyanyang -- ini
pun menjadi pijakan yang terus ditancapkan
dalam diri mereka, dan diinternalisasikan.
Sehingga, kerap
kita mendengar ungkapan yang disampaikan kaum tua misalnya di kota Tidore Kepulauan yakni “bicara jaga aki” atau dapat diartikan berbicara
harus jujur, tidak menyakiti hati orang lain, memfitnah dll), ungkapan “bicara jaga aki” ini walaupun dinilai sederhana,
namun pada tataran normatif memiliki arti yang sangat dalam sebagai manifestasi
atau ekspresi pengagungan fitrah manusia sebagai khalifah fil ardh, yakni
apapun yang dijalani manusia di muka
bumi, harus bersandar pada nilai-nilai ilahiyah, terlebih membumikan basmalah, untuk
menepiskan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Bicara jaga aki, ungkapan ini dimaknai
sebagai pesan normatif sebagaimana
terkandung dalam kata basmalah (makna rahman
dan rahim sebagai cerminan sifat
Allah SWT), pada prinsipnya untuk menghindari kita dari tindakan berbohong,
mencuri, menipu, memfitnah, menebar kebencian, dan menzalimi orang lain.
Oleh karena itu,
bagi kaum tua dulu, yang menginternalisasi pesan tersebut, sulit kita mendengar
atau menemukan mereka berperilaku buruk, bahkan pada aspek kesehatan, jarang
mendapati atau melihat mereka mendapatkan penyakit “aneh” dan mematikan, walaupun
ini merupakan pandangan subjektif penulis, namun fakta menderas di tengah
kehidupan menunjukkan hal tersebut. Penyakit jantung koroner, stroke, kanker,
tuberculosis (TBC), penyakit paru obstruktif kronis dan penyakit kronis lainnya
tidak mengancam mereka, hal ini lantaran faktor kebersihan hati yang kemudian
berimplikasi pada tindakan mereka, karena wujud internalisasi makna rahman dan rahim dalam basmalah yang dijunjung tinggi dalam laku keseharian. Sehingga,
benar-benar terhindar dari penyakit hati dan perbuatan-perbuatan mengandung
dosa.
Pandangan di
atas, jika merujuk pada konteks kehidupan saat ini, memang agak kontras dengan
laku keseharian yang dijalani generasi tua dulu, berbeda karena dalam kehidupan
saat ini, ucapan yang disampaikan kerap tidak sesuai dengan tindakan.
Walaupun di
tengah perkembangan ilmu pengetahuan, disertai kecanggihan informasi teknologi,
memudahkan mendapatkan pengetahuan bahkan ilmu agama, yang dinilai jauh berbeda
dengan mereka dulu, namun ekspresi keagamaan kita terjadi distorsi yang cukup
tajam, mengapa? Karena menjalani pekerjaan, kita melafalkan basmalah, namun
berimplikasi pada tindakan yang kerap bertentangan dengan nilai-nilai normatif dalam
ajaran agama.
Kita mengucapkan
basmalah saat memulai aktivitas, namun kerap menzalimi orang lain, menebar
sentimen negatif, memfitnah, merampas hak orang, korupsi, melakukan tindakan
KDRT, persekusi, pemerkosaan, membunuh, dan melakukan tindakan radikalisme (terorisme).dan lain-lain.
Padahal, ketika
bangun tidur, keluar rumah, dan menaiki kendaraan menuju ke tempat kerja, semuanya
diawali dengan melafalkan basmalah. Namun, makna rahman dan rahim yang
terkandung dalam basmalah yang kita lafalkan tersebut tidak dihayati, sehingga
memunculkan tindakan yang bertentangan dengaN ajaran agama tersebut, ironisnya apabila
tindakan negatif di atas jika dilakukan oleh mereka yang sangat memahami ajaran
agama, atau dalam standar stratifikasi sosial memiliki pendidikan tinggi, maka
sangat disayangkan.
Dari sejumlah perilaku negatif di atas, terlebih tindakan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), menurut penulis, lantaran suami-istri tidak memahami makna
rahman dan rahim yang terkandung dalam basmalah, mengapa demikian? karena kehidupan rumah tangga sejatinya dibangun di
atas landasan rahman dan rahim, yakni sejak berlangsungnya prosesi
ijab kabul ditandai dengan penyatuan rahman
dan rahim, di mana si mempelai wanita
diwakili oleh orang tuanya atau wali dengan si mempelai pria, dan momen sakral ini
disebut sebagai penyatuan atau memperteguh kasih sayang (rahman dan rahim), yang
kemudian diwujudkan dalam hubungan biologis antara kedua pasangan suami-istri sebagai
bentuk nyata penyatuan rahman dan rahim.
Sehingga, kehadiran anak dalam rumah tangga merupakan wujud dari
penyatuan sifat rahman dan rahim. Justru itu, pada konteks ini, jika
seorang suami dapat memahami esensi dari makna penyatuan rahman dan rahim, maka dalam
perilaku keseharian selalu mengedepankan kasih sayang – menyayangi istri dan
anak, begitu pun sebaliknya, sehingga sulit
terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mengakibatkan perceraian.
Menyikapi fenomena kehidupan era kontemporer saat ini, pada setiap saat kita
disuguhkan dengan tindakan-tindakan yang dinilai bertentangan dengan ajaran
agama, menurut hemat penulis, bahwa kita hanya pintar melafalkan basmalah,
namun tidak memahami hakikat yang terkandung dalam basmalah, yakni pesan rahman dan rahim. Sehingga, untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif
dalam kehidupan, setidaknya kita kembali membumikan basmalah, dan memahami
makna rahman dan rahim sebagai cerminan sifat Allah SWT.
Jika hal ini benar-benar mendapat perhatian, maka dalam laku keseharian;
baik di lingkungan masyarakat maupun di kantor, tindakan negatif seperti
menzalimi orang lain, ujaran kebencian, bahkan tindakan lain yang berimplikasi
dosa sulit terwujud. Sebab, sifat pengasih dan penyayang dari sang khaliq
selalu diinternalisasi pada setiap ucapan dan tindakan kita dalam kehidupan.
Walaupun begitu, hakikat kehidupan memang tidak terlepas dari pengaruh
dan godaan iblis kepada ummat manusia, sehingga kerap kita mendengar atau
menyaksikan di tengah masyarakat maupun di kantor pemerintah, ada oknum yang
memiliki kualifikasi pendidikan tinggi, menduduki jabatan strategis dan bahkan
dari sisi usia menunjukkan kematangan berfikir dan bertingkah laku, namun kerap
menzalimi orang lain, memfitnah, bahkan suka menebar kebencian antar sesama. Hal
ini menandakan bahwa selain terjebak skenario iblis, pada prinsipnya karena tidak
memahami hakikat dari makna rahman dan
rahim dalam basmalah. Justru itu, untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai ilahiyah dalam interaksi sosial, setidaknya kita membumikan
basmalah dan menginternalisasikan nilai rahman
dan rahim.
Jadi, memahami makna rahman dan
rahim secara komprehensif,
berimplikasi pada harmonisasi sosial yang baik, sebagai cerminan dari konsep hamblum minnallah dan hablum minannas yang diajarkan
Rasulullah SAW. Dan, jika nilai ilahiyah dalam basmalah tetap dijaga dan
diaktualisasikan, maka dapat menekan tindakan menebar kebencian antar agama, persekusi,
radikalisme, maupun tindakan melibat orang per orang seperti pemerkosaan,
pembunuhan bahkan menzalimi orang lain dan melakukan korupsi, serta merampas
hak orang lain.
Karena, jika tergerak melakukan tindakan negatif tersebut, pasti
terdobrak oleh naluri ilahiyah, Sebab, pada hakikatnya semua ummat manusia di
bumi ini disatukan dalam frame rahman dan rahim, untuk menjalani kehidupan yang baik, demi mewujudkan esesnsi
Islam yaitu keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan, sebagaimana isyarat dari
pesan rahmatan lil alamin.
*Artikel ini sudah diterbitkan
di Kompasiana.com, 9 Januari 2022