“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia
akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah, Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.”
Quotes
mendiang Pramoedya Ananta Toer di atas, memang sangat populer di dunia
pendidikan; kata-kata yang memiliki makna cukup dalam ini, selain membangkitkan
semangat, juga memberi harapan besar bagi orang yang berkarya dalam bidang
kepenulisan.
Harapan
itu terwujud dari hasil yang didapat, semisalnya materi dan tentunya ilmu yang
dituliskan akan terus mengalir hingga batas waktu yang tak ditentukkan. Untuk
itu, Pramoedya mengingatkan agar kita harus menulis. Terlebih tenaga pendidik,
jika namanya terus dikenang sepanjang masa. Maka, tidak ada pilihan lain,
selain terus menulis dan menulis.
Karena
pentingnya dunia menulis, Taufik Adi Susilo menceritakan di dalam bukunya, Spirit Jepang, 30 Inspirasi & Kunci
Sukses Orang-Orang Jepang, bahwa semangat menulis di negeri matahari terbit
itu, memang jauh di atas negara-negara lainnya di benua Asia, termasuk kita di
Indoenesia.
Bayangkan,
dalam setahun, Jepang memproduksi buku berkisar 60.000 sampai 70.000 judul
buku, karena jumlah produksi buku mengalami peningkatan secara signifikan, maka
berpengaruh juga dengan toko buku di Jepang. Sehingga, jumlah toko buku mereka
pun bertambah dan menyamai Amerika.
Di
sisi lain, jumlah produksi buku yang begitu banyak, bukan hanya ditulis oleh
akademisi di Perguruan Tinggi, melainkan setiap tahun pasti ada karya-karya
dari Ibu Rumah Tangga (IRT). Mereka menulis buku seperti: Tips Pindah Rumah
Yang Efesien, Teknik Menanak Yang Enak dan sebagainya, yang bersentuhan dengan
aktivitas mereka. Produktivitas menulis para Ibu Rumah Tangga di Jepang, boleh
dikatakan jauh lebih baik dari Ibu Rumah Tangga di berbagai negara berkembang
lainnya. Terlebih kita di Indonesia, yang lebih memilih menghabiskan waktu di
Gedget ketimbang membaca dan menulis.
Soal
menulis, mari kita flashback pada masa silam, dimana begitu banyak para
filosof Islam yang namanya tetap harum dalam beragam ilmu pengetahuan, lantaran
mereka melahirkan karya dalam bentuk kitab atau buku fenomenal, yang hingga
kini tersebar di berbagai lembaga pendidikan; baik umum maupun lembaga
pendidikan Islam. Mengapa di era keemasan Islam, para filosof lebih memusatkan
perhatian pada dunia kepenulisan? Karena, mereka sangat menghargai dan
menjujung tinggi ilmu pengetahuan.
Sebab,
di dalam Islam, kata-kata yang sangat terkenal membangkitkan semangat menulis
yaitu Ikatlah Ilmu Dengan Menulisnya. Selain
itu, salah satu pesan yang disampaikan Rasulullah Saw kepada Abdullah bin Amru
yakni “Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar
darinya melainkan kebenaran (HR. Ahmad 2/164 & 192 Al-Hakim 1/105-106,
Sahih).
Karena
menulis sangat penting, sehingga di era kejayaan Islam, begitu banyak karya
tulis yang dihasilkan para ilmuan Islam. Bahkan, karya mereka pun menjadi
inspirasi bagi kaum Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semangat
berkarya para ilmuan terdahulu sebenarnya menjadi spirit bagi kita yang hidup
di era modern. Sebab, dahulu dengan segala keterbatasan, namun mereka tetap
melahirkan karya-karya fenomenal.
Sementara
kita yang hidup dengan penuh kemudahan, namun rasa malas lebih dominan daripada
semangat berkarya. Kita, saat ini, terlebih tenaga pendidik, banyak yang
memiliki alasan: sibuk dengan rutinitas di rumah, sibuk dengan jabatan,
sehingga tidak ada waktu untuk menulis.
Jika
ada tenaga pendidik terlebih dosen yang beralasan seperti itu, maka tentunya
mereka tidak pernah membaca pesan yang disampaikan Idris Thaha (editor) buku Islam
Substantif karya Azyumardi Azra.
Katanya,
Azyumardi Azra merupakan satu-satunya akademisi di Indonesia pada eranya, yang
dikenal sangat produktif menulis. Bahkan, saking cintanya pada dunia menulis,
ia membagikan waktu di kampus dan di rumah, agar ia dapat memaksimalkan untuk
menulis.
Sehingga,
berkat produktivitasnya, membuat ia diganjar Mizan Award sebagai penulis paling
produktif pada 2002 silam (Baca: Tirto.id, Minggu, 10/06/2018). Prestasi yang
ditorehkan mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 1998-2006 itu,
setidaknya menjadi gambaran dan spirit kita, khususnya generasi muda, kaum
intelektual di Perguruan Tinggi.
Ada
catatan menarik juga dalam dunia kepenulisan yang disampaikan guru besar
(gubes) Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya Prof.Dr.Rel.Pol Heri
Kuswanto, M.Si, ia membagi kisah meraih guru besar pada Jawa Post/Malut Post,
Senin (5/4/2021) yakni pada usia 38 tahun ia berhasil mencapai status profesor
termuda di ITS, pencapaian tersebut tidak terlepas dari kepandaian ia mengatur
waktu untuk menulis jurnal penelitian.
Sehingga,step-by-step
langkah mencapai guru besar pun sangat mudah. Sehingga, katanya konsisten dan
prinsipn menjalani yang terbaik ternyata membuahkan bonus, yakni menjadi guru
besar atau profesor termuda di ITS.
Untuk
itu, menurut saya, seorang tenaga pendidik, khususnya dosen, sangat mudah untuk
mencapai gelar guru besar, jika konsisten membagi waktu untuk menulis. Menulis
di sini memang luas. Tapi, pada hakikatnya, sesuai profesi, maka dituntut harus
intens menulis jurnal penelitian atau riset.
Dan
tentunya, selain menulis terkait bidang keilmuan pada jurnal penelitian, tenaga
pendidik, dituntut juga harus menulis esay di Koran, Majalah, maupun media
online, karena hal ini sebagai langkah yang tepat dalam mengedukasi masyarakat.
Karena
pentingnya dunia menulis saat ini, maka khusus kalangan mahasiswa, sudah
terjadi pergeseran yang cukup jauh pada dinamika dunia aktivis, ketika 20 tahun
silam, mahasiswa yang pintar berorasi pasti mendapat apresiasi positif. Namun
kini, hal itu tidaklah begitu istimewa.
Sebab,
hanya pintar berorasi, tapi lemah di dunia menulis, maka mahasiswa belum bisa
dikatakan seorang aktivis yang memiliki jiwa komplit. Komplit di sini dalam
arti pintar berorasi dan juga pintar menulis.
*Artikel ini sudah
diterbitkan di Kompasiana.com, 1 September 2022