Maraknya
tindakan radikalisme di tanah air, maupun di sejumlah negara Islam di Timur
Tengah, yang dilakukan kelompok keagamaan tertentu, menghadirkan persepsi negatif
terhadap wajah Islam. Padahal, Islam hadir sebagai agama penebar cinta dan
kedamaian, untuk semesta alam yang dimanifestasikan nabi Muhammad SAW dalam konteks
kehidupan.
Sayangnya,
agama yang mengajarkan kedamaian, keterbukaan, toleransi, kerukunan dan
kerharmonisan, kini mendapat stereotip sebagai
agama yang mengedepankan kekerasan, lantaran ekspresi dari kelompok keagamaan
tertentu yang dinilai mengusik identitas Islam.
Sehingga,
ajaran Islam sebagaimana diajarkan nabi Muhammad SAW yakni toleran, harmoni, dan menjunjung tinggi
pluralisme berdasarkan pesan rahmatan lil
alamin kerap dihujani kritik oleh kalangan non-muslim khususnya masyarakat
Eropa dan Amerika melalui artikel-artikel serta di-framing negatif sebagai agama yang konservatif, radikal, dan
dituduh mengajarkan kekerasan, kekejian, kekejaman, dan pertumpahan darah
berdasarkan penilaian subjektif, dari para korban tindakan radikalisme yang
dilakukan oleh sejumlah kelompok keagamaan.
Bahkan
pada 2016 silam, media News Risalah Islam mempublis sebuah hasil survei dari
Lembaga Pew Research Center Amerika Serikat menunjukkan sentimen anti-Islam
meningkat di kalangan masyarakat Eropa lantaran terkait aksi terorisme.
Pandangan
stereotip terhadap Islam seperti ini menurut
Azyumardi Azra bermula dari peristiwa 11 september 2001 yang menggempar dunia
yakni tubrukan pesawat Boeing 767 pada
dua menara kembar: World Trade Center (WTC), dan Gedung Pentagon, di Amerika
yang diduga dilakukan oleh Osama bin
Laden dengan jaringan Al-Qaidah-nya. Semenjak peristiwa tersebut, kemudian
bermunculan tindakan radikalisme atas nama agama tumbuh subur di berbagai
negara, sehingga melahirkan sentimen negatif terhadap Islam, seolah agama yang
dibawa Nabi Muhammad SAW ini mengajarkan kekerasan dan membunuh.
Selain
peristiwa 11 september 2001 tersebut, wajah
Islam kian “babak belur” sejak kemunculan kelompok Negara Islam di Irak dan
Suriah (ISIS) yang melancarkan aksi-aksi kekerasan mengatasnamakan agama.
Walaupun beragam motif melatari aksi radikalisme mereka, namun ekspresi
keagamaan mereka memang dinilai kontras dengan nilai-nilai universal dalam
ajaran Islam.
Justru
itu, upaya yang dilakukan mayoritas ummat Islam demi memperbaiki citra Islam di
mata masyarakat dunia dengan menampilkan wajah Islam yang rahamatan lil alamin, namun sulit terhapus stigma buruk yang telah
tertancap kuat di benak masyarakat Eropa maupun Amerika, sebab tindakan
radikalisme kerap dimunculkan oleh kelompok keagamaan berhaluan puritan serta
memiliki karakter militan, radikal, skriptualis, konservatif dan ekslusif.
Bahkan,
di bangsa ini pada momentum Pilgub DKI Jakarta 2017 silam dan Pilpres 2019
dipertontonkan secara nyata wajah-wajah kelompok keagamaan tertentu yang salama
ini dituding berada di balik sejumlah aksi-aksi radikalisme atas nama agama.
Sehingga, seperti penulis sampaikan di atas, upaya untuk kembali mencitrakan
Islam sebagai agama penebar cinta dan kedamaian, memang mendapat tantangan.
Bahkan, untuk meng-counter tindakan
mereka pun ummat Islam yang terhimpun dalam organisasi berhaluan moderat kerap
mendapat tudingan kafir dan sesat.
Sehingga,
pandangan organisasi Islam berhaluan moderat, bahwa karakteristik mainstream yang dipertontonkan kelompok Islam
radikal melalui berbagai tindakan radikalisme atas nama agama, merupakan
implikasi dari kekeliruan dalam memahami konsep nilai-nilai agama, serta
kesalahan interpretasi terhadap teks-teks agama secara rigid (kaku), literal,
dan melenceng dari nilai-nilai luhur Islam.
Penafsiran
yang keliru terhadap teks-teks al-quran oleh mereka, melahirkan sikap eksklusif
dan perilaku destruktif serta mengakibatkan klaim kebenaran yang keras,
tertutup dan dogmatis. Buntut dari kekeliruan memahami Islam inilah berdampak pada
munculnya gerakan radikalisme atas nama agama, seperti bom bunuh diri yang
dianggap sebagai jihad fisabilillah.
Dan
mereka memandang bahwa perbuatan tersebut diganjar dengan surga, bahkan bakal
disediakan para bidadari untuk mereka. Atas dasar doktrin ini membuat tindakan
radikalisme terus tumbuh subur di tanah air. Sebab, tindakan radikalisme yang
mereka lakukan pada substansinya para pelaku berimajinasi tentang surga dan
bidadari.
Doktrin
seperti inilah kemudian menyasar generasi muda dan menerobos ke dunia
pendidikan; baik pendidikan formal maupun non-formal, kelompok-kelompok fundamentalis
setidaknya bermanufer untuk membidik anggota baru, dengan pendekatan yang
dilakukan pun terbilang cenderung eksklusif.
Mereka
menghipnotis kalangan muda, dengan meracuni pikiran dan memberi pandangan bahwa
fenomena ummat di era kontemporer saat ini setidaknya membutuhkan gerakan dari generasi
muda Islam untuk mendobrak dan melakukan perubahan. Terlebih isu Palestina,
Suriah, dan sejumlah negara di Timur Tengah yang dianggap menjadi korban
politik Amerika dan Eropa harus disikapi. Sehingga jargon-jargon “Islam adalah
solusi” “Islam sebagai alternatif” serta “syariat Islam adalah solusi krisis”,
menjadi senjata utama dalam membidik generasi muda Islam.
Jargon
seperti ini memang sangat ampuh, terlebih bagi mereka yang dikategorikan
memiliki pemahaman agama yang lemah bahkan cenderung sempit, maka nantinya
dengan mudah menerima doktrin bahwa
membunuh orang kafir, bom bunuh
diri, semuanya dikategorikan sebagai jihad dan bakal masuk surga serta dapatkan
bidadari.
Melihat
kecenderungan generasi muda yang terjebak dalam lingkaran kelompok
fundamentalisme dengan doktrin yang keliru tentang Islam, maka sejatinya
pendidikan agama Islam yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan dinilai
sangat tepat untuk meredam tindakan radikalisme atas nama agama. Melalui
penanaman nilai-nilai universal keagamaan kepada peserta didik di semua jenjang
pendidikan, diharapkan menghadirkan pemahaman yang baik tentang Islam, sehingga
nantinya generasi muda tidak terjebak dengan doktrin sesat yang diusung
kelompok keagamaan tertentu.
Selain
itu, untuk meng-counter doktrin sesat
tersebut, pemahaman keagamaan peserta didik di lembaga pendidikan tentang Islam
juga diarahkan pada substansi ajaran Islam, dengan merujuk pada perilaku Nabi
Muhammad SAW yang menjiwai sifat Pengasih dan Penyayang dari sang khaliq seperti
terkandung dalam bismillahirrahmanirrahim.
Lantaran konsep ajaran Islam semacam ini jika dipahami dengan benar dan
diaktualisasikan oleh generasi muda, maka dapat meminimalisir tindakan
radikalisme mengatasnamakan agama.
Sebab,
Islam tidak hanya mengajarkan tentang konsep Hablum Minallah akan tetapi anjuran manusia menjaga hubungan baik
dengan individu atau kelompok manusia lainnya melalui konsep Hablum Minannas. Bahkan, bukan hanya
manusia dengan manusia, namun manusia dan hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun dengan
alam.
Sebab,
tujuan dari kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagaimana ditegaskan dalam Alquran
surat Al-Anbiyah ayat 107 Wa ma arsalnaka
illa rahmatan lil alamin, (Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk memberi rahmat bagi seluruh alam.
Justru itu, dalam beragama kita dituntut harus mencerminkan sikap yang santun
dan menjunjung pluralisme demi menghadirkan kedamaian, bukan dengan menebar
sentimen agama yang berimplikasi pada tindakan radikalisme.
Nah,
konsep ajaran Islam semacam inilah harus terus disosialisasikan melalui
pendidikan agama Islam pada lembaga pendidikan; baik pendidikan formal maupun
non-formal, untuk mengkonstruk pola pikir generasi muda. Sehingga ekspresi
keislaman mereka pun sesuai dengan ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah SAW
dengan mengedepankan konsep Rahman
dan Rahim. Bukan seperti kelompok Islam
radikal yang menebar kebencian dan melakukan tindakan radikalisme atas nama
agama demi surga dan bidadari.
*Artikel
ini sudah diterbitkan di Kompasiana.com, 9 Januari 2022