Gaung kontestasi politik 2024 belakangan ini mulai terasa
getarannya, setelah sejumlah partai politik melakukan manuver politik membidik figur-figur
potensial untuk dijadikan bakal calon presiden pada pemilu mendatang.
Konsolidasi menjelang kontestasi politik seperti ini
dipadang wajar dilakukan partai politik, namun tak sedikit memunculkan
selentingan negatif publik, lantaran di tengah permasalahan ekonomi yang dihadapi
masyarakat pasca pademi covid-19, partai politik dinilai seakan tidak
menggubris.
Padahal, partai politik pada hakikatnya berfungsi sebagai
penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Sehingga, idealnya
harus menaruh perhatian pada permasalahan masyarakat, ketimbang hanya terjebak
pada konsolidasi membangun komunikasi politik dan mengkalkulasikan peluang
memenangkan pemilu.
Buntut dari reaksi negatif yang dilancarkan publik atas manuver
partai politik, dinilai sebagai langkah awal memicu tumbuhnya sentimen negatif
terhadap partai politik, maupun bakal calon presiden, yang nantinya diekspresikan
melalui media digital. Seperti propaganda dalam bentuk diinformasi di tahun
politik.
Dan saat ini mulai menampakkan ekspresi ketidakpuasan
tersebut, seperti publik mulai mencibir sejumlah partai politik yang melakukan
konsolidasi politik bertepatan dengan momen perubahan tarif dasar Bahan Bakar
Minyak (BBM) bersubsidi dan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Kabupaten Malang,
Jawa Timur.
Dan, kritik yang ditunjukkan terhadap partai politik dan
bakal calon presiden, pada dasarnya diasumsikan sebagai hal yang lazim
dilakukan pada era demokrasi. Sebab, kebebasan berekspresi dan berpendapat,
termasuk menyampaikan kritik kepada partai politik dan pemerintah, merupakan
pilar penting demokrasi. Sehingga, para
pimpinan parpol pun merespon kritikan publik sebagai hal yang wajar dalam
dinamika berdemokrasi.
Namun, pada pripsipnya reaksi spontanitas yang
diekspresikan publik melalui media digital, tidak semestinya direspon dengan
gestur politik, melainkan dengan cara dan pendekatan yang humanis, agar
nantinya menepis pandangan subjektif terhadap partai politik maupun bakal calon
presiden yang diorbitkan partai politik.
Sebab, reaksi-reaksi yang ditunjukkan publik, dapat
dipahami sebagai benturan komunikasi politik yang berimplikasi terjadinya
polarisasi di tengah masyarakat, yang nantinya berlanjut dan menghadirkan
dampak negatif terhadap dinamika sosial politik pemilu.
Mengapa demikian? Karena masyarakat sebagai konstituen
tentu memiliki fanatisme yang berbeda terhadap partai politik dan bakal calon
presiden. Sehingga, saling counter
dalam membela dan menjatuhkan partai politik serta bakal calon presiden saat
berlangsungnya momen pemilu sulit dihindari. Sebab, nuansa pemilu 2014, pilkada
DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 menjadi indikator atas sikap reaktif: pro dan kontra,
dalam merayu opini publik yang dilancarkan simpatisan maupun kader partai serta
buzzer politik dalam memengaruhi
preferensi pemilih.
Kondisi seperti ini memang sangat dikhawatirkan saat
menjelang dan berlangsungya pemilu mendatang. Sebab, kecenderungan meng-counter informasi untuk memperkuat
posisi partai maupun mendongkrak popularitas dan elektabilitas bakal calon
presiden, merupakan pilihan tepat bagi masing-masing simpatisan dan kader
partai, terlebih sistem politik Indonesia pasca reformasi menghadirkan nuansa
yang berbeda dengan era otoritarianisme Orde Baru, dimana perilaku pemilih
telah bertransformasi dari pola panutan atau tradisional menjadi rasional.
Untuk itu, reaksi terhadap dinamika politik yang dilancarkan
masyarakat pemilih melalui media digital, dapat dipahami sebagai ekspresi
cerdas dan rasional masyarakat di era demokrasi. Sebab, keberadaan media
digital dianggap sebagai sarana ideal dalam mengekspresikan kritik terhadap
partai politik dan pemerintah, disamping itu juga media digital dimanfaatkan
partai politik untuk melakukan promosi dan sosialisasi politik demi meraih
simpati publik.
Dan, jika ditelisik perubahan perilaku pemilih pada setiap
momentum tahun politik; baik pada level global, maupun di tanah air, dapat
dikatakan implikasi dari Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Hal
ini seperti dikatakan Richard Groper yang disitir Sufyanto (2015:220) bahwa
teknologi komunikasi sebagai penyeimbang yang memiliki kekuatan untuk membangun
demokrasi yang lebih baik.
Sehingga, kecenderungan partai politik memanfaatkan perangkat-perangkat
digital sebagai instrumen politik dinilai cukup efektif dalam melakukan
pendekatan komunikasi politik. Sebab, segmentasi pemilih pada ranah ini
kebanyakan pemilih pemula dan generasi muda, atau disebut sebagai generasi z.
Penggunaan perangkat digital sebagai instrumen politik
untuk membidik generasi z, memang cukup efektif, namun di sisi lain
menghadirkan kegalauan publik, pasalnya sentimen negatif yang dilancarkan
melalui perangkat digital oleh simpatisan dan kader partai maupun buzzer politik, dipastikan turut
menyeret generasi z pada pusaran propaganda dalam bentuk misinformasi dan disinformasi
dengan varian fake news dan Hoaks,
Hoaks
dan dinamika sosial politik
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi ikut berdampak
pada dinamika politik digital. Sebab, semua partai politik memiliki
kecenderungan yang sama soal pendekatan komunikasi politik, serta strategi
sosialisasi program kerja untuk menarik simpati publik melalui media digital. Karena
pertarungan menarik simpati pemilih, terkadang berimplikasi pada propaganda
politik saling menjatuhkan antara simpatisan dan kader partai maupun buzzer politik. Kondisi inilah melahirkan
misinformasi dan disinformasi dengan farian hoaks dan fake news.
Berdasarkan data yang dirilis Kompas.com, kamis (17/2/2022)
pada pemilu 2014 kecenderungan sebaran informasi hoaks lebih pada mengubah
persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu, serta menyerang kandidat dan
fokus saling menjatuhkan kandidat.
Dan tren disinformasi seperti ini pun berlanjut pada pemilu
2019, namun terjadi pergesaran yakni bukan lagi menyerang kandidat tertentu,
melainkan sasarannya pada penyelenggara pemilu. Sehingga, menurut Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur
Agustyati bahwa publik terjebak dengan disinformasi tersebut dan menjadi kurang
percaya, bahkan hilang kepercayaannya terhadap penyelenggara pemilu.
Menurut penulis, sebaran informasi hoaks semacam ini bakal
lebih masif terjadi pada pemilu mendatang. Sebab, kandidat calon presiden yang
diorbitkan partai politik saat ini, sudah menampakkan kecenderungan melahirkan
sentimen sosial politik. Dan kondisi ini nantinya yang menjadi korban adalah
genrasi z.
Mengapa generasi z ikut terjebak? Karena gen-z lebih
dominan menggunakan media sosial dan rentan “tertelan” oleh hoaks atau berita
bohong. Penegasan ini diperkuat dengan data yang dirilis Databoks.katadata.co.id
1 februari 2021, bahwa Gen-z paling banyak sebar berita di media sosial tanpa
verifikasi. Hal ini diakibatkan karena gen-z minim literasi digital, dan tidak
memahami dinamika politik.
Pentingnya
Literasi Digital Bagi Gen-z
Pemilu 2024 mendatang bakal seru bila dibandingkan dengan
pemilu 2019 lalu, lantaran penambahan sejumlah partai baru menjadikan
pertarungan perebutan suara pemilih makin ketat. Terlebih pada tahun 2024, Pilpres
dan Pileg digelar serentak pada 14 Februari 2024, sementara pilkada serentak
berlangsung pada 24 november, kondisi ini membuat dinamika politik digital
semakin menarik.
Sebab, indikasinya sudah terlihat, intensifnya penggunaan
media sosial sebagai instrumen politik untuk menarik simpati pemilih pemula
menjadi perhatian semua partai politik. Hal ini ditempuh karena selain iklan
politik di media masa dan Televisi sangat efektif, media sosial pun menjadi
parameter tentang keberhasilan partai politik menangguk suara pemilih pemula
pada pemilu 2019 lalu.
Untuk itu, pada pemilu mendatang partai politik bakal
berlomba membangun basis pemilih melalui media digital, dan sasarannya adalah
generasi z, karena generasi ini dinilai masih abstrak soal menaruh simpati pada
partai politik, maupun kandidat calon presiden. Sehingga upaya yang dilakukan
partai politik untuk menarik simpati gen-z dengan kampanye politik di media
sosial, terlebih sejauh ini belum adanya regulasi kampanye di medsos, membuat
partai politik bebas berkompetisi meraih simpati publik.
Persaingan partai politik pada segmen media digital, pasti
tidak terlepas dari sentimen negatif yang dilancarkan oleh berbagai pihak demi
saling menjatuhkan. Sebab, pada pemilu 2014 dan 2019 memunculkan pesimisme dan
traumatisme dari sejumlah kalangan terhadap partai tertentu bakal diekspresikan
pada pemilu 2024 melalui media digital, seperti memanfaatkan buzzer untuk
melancarkan black campaign, dengan
sebaran misinformasi dan disinformasi politik, dengan menyasar pemilih pemula
(gen-z), sehingga menimbulkan kegaduhan politik di media digital, dan tentunya
mempengaruhi psikologi.
Kondisi seperti ini dapat dipastikan menyeret gen-z
terlibat dalam sebaran hoaks serta menghadirkan sentimen negatif terhadap
partai maupun kandidat tertentu, untuk itu mengantisipasti gen-z agar tidak
terjebak pada hoaks dan black campaign
di media digital, dibutuhkan penguatan literasi digital yang baik, demi
terhindar dari persoalan semacam ini.
Dan langkah yang dilakukan adalah edukasi soal mengakses,
mengolah, serta menyebarkan informasi dan gagasan di media sosial. seperti
dikatakan Douglas A.J Belshaw yang dikutip wartaguru.id, senin (20/6/2022) bahwa
ada delapan faktor kunci dalam meningkatkan literasi digital yaitu: memahami
budaya dalam dunia digital, kognisi atau keterampilan berpikir dalam
mengevaluasi konten, unsur konstruktif atau inovatif, komunikasi, unsur
kemandirian yang bertanggung jawab, kreativitas, faktor penting menangani
konten, serta tanggung jawab sosial.
Dari delapan faktor meningkatkan literasi digital yang
disampaikan Douglas A.J Belshaw tersebut, menurut penulis jika mendapat
perhatian penting stakeholder maupun para influencer dalam memberikan edukasi
kepada gen-z, maka dapat dipastikan pemahaman literasi digital gen-z semakin
baik.
Sehingga, dengan mudah mereka dapat menangkal hoaks yang
tersebar di media digital, seperti tidak terjebak pada clickbaits media atau propaganda politik yang dilancarkan buzzer politik.
Selain itu, dengan kemampuan literasi digital yang baik, gen-z
dapat berperan penting sebagai educator
di media sosial berkolaborasi dengan berbagai pihak membendung serta mencegah disinformasi,
fake news dan hoaks di tahun politik,
demi menghadirkan impian bersama, menciptakan pemilu yang aman dan damai, tanpa
hoax dan ujaran kebencian. Semoga!!!
*Artikel ini sudah diterbitkan di Kompasiana.com, 18 Oktober 2022