Indonesia
memiliki beragam suku bangsa, sehingga dikenal sebagai negara multikultural.
Keragaman inilah terbingkai dalam pancasila dan tetap terjaga hingga kini.
Perbedaan semacam ini dalam agama pun dianggap sebagai sunatullah. Sehingga,
diharapkan kita harus menghormati antarsesama anak bangsa. Karena, keragaman
suku dan budaya membuat setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda pula.
Seperti
di Maluku Utara sebagai salah satu daerah dengan beragam suku dan agama, dan
dari setiap suku di Maluku Utara pun
memiliki tradisi yang berbeda. Untuk itu, jika kita berkunjung ke setiap daerah
di Maluku Utara, pasti kita menemukan ritual adat yang berbeda-beda.
Terlebih provinsi yang resmi terbentuk pada 4 Oktober 1999 ini, yang memiliki 10
Kabupaten/kota, sehingga keragaman tradisi dan budaya memang jelas berbeda.
Kali
ini, penulis ingin membahas soal bentuk perkawinan masyarakat kota Tidore
Kepulauan, di mana ada model perkawinan yang tetap terjaga hingga kini, namun
ada bentuk perkawinan yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan
zaman.
Perkawinan
menurut bahasa Tidore yaitu "kia". Perkawinan yang dikenal
masyarakat Tidore yaitu terdiri dari: Kia Lahi, Kia Sejoho, Kia Sobiri, dan Kia
Sodobe.
Dari
keempat jenis perkawinan ini, bagi generasi 80-an dan 90-an memang masih cukup
familiar lantaran mereka kerap menyaksikan warga yang melangsung perkawinan
pada setiap desa maupun kelurahan. Namun, bagi generasi 2000-an, mereka lebih
mengenal jenis perkawinan Kia Lahi.
Karena
Kia Lahi merupakan jenis perkawinan sesuai ajaran agama Islam.
Sementara, jenis perkawinan: Kia Sejoho, Kia Sobiri, dan Kia Sodobe, hingga
kini jarang ditemui di masyarakat. Walaupun pada prinsipnya sama yakni mengikat
kedua pasangan dengan ikatan sah perkawinan, hanya saja, hingga kini warga
lebih memilih mengikuti tradisi Kia Lahi atau dengan cara meminang.
Lebih
jelasnya, penulis menjelaskan satu persatu jenis perkawinan tersebut, agar
nantinya menambah pengetahuan kita semua, terlebih jika ada yang tertarik untuk
membuat penelitian lebih jauh soal bentuk-bentuk perkawinan ini. Lantaran
penulis sendiri berasal dari kota Tidore Kepulauan, sehingga dari kecil hingga
dewasa kerap menyaksikannya, maka sekadar berbagi pengetahuan.
Yang
pertama Kia Lahi (Perkawinan dengan cara meminang), bentuk
perkawinan ini bukan hanya terdapat di kota Tidore Kepulauan, namun berlaku
bagi semua daerah di Indonesia.
Sebagaimana
di Tidore, yang dikenal dengan Kia Lahi. Prosesnya, calon mempelai pria
mengirim utusan yang terdiri orang-orang yang dianggap memiliki kecakapan soal
pernikahan. Sebab, pertemuan ini -- meminang, sangat berbeda dengan pertemuan
lainnya.
Utusan
dari pihak calon mempelai pria, ini dalam bahasa Tidore disebut "Papa se
Yuma" yang nantinya disambut oleh keluarga calon mempelai wanita, yakni
"Yaya se Goa" biasanya dalam aturan meminang ini, utusan
rombongan peminang, dipimpin oleh orang yang sangat dihormati dalam keluarganya atau yang dituakan.
Sehingga,
hal ini menghadirkan kepuasaan bagi pihak calon mempelai wanita, untuk itu
dalam hal meminang memang menjunjung etika, dan adat istiadat. Karena, prosesi
inilah nanti berpengaruh terhadap keberlangsungan rumah tangga kedua pasangan
suami-istri.
Dan
tentunya, kehadiran pihak calon mempelai pria pun mengikuti tradisi yang sudah
terjadi turun temurun, yakni soal pesan yang hendak disampaikan pihak rombongan
pria ke keluarga calon mempelai wanita. Biasanya, jika calon mempelai wanita
juga berasal dari Tidore, maka bahasa yang disampaikan pun menggunakan bahasa
Tidore, namun hal ini tidak berlaku jika calon mempelai wanita dari suku lain, yang
tidak dapat memahami bahasa Tidore.
Untuk
itu, bahasa yang disampaikan walaupun terkadang ada perbedaan pada diksi, namun
secara umum hampir sama yakni, "Ngom lahi maaf, (kami minta maaf) jo
ngom mo yado ena re (kami datang di sini) sema maksud mohoda jo ngon na
ngofa,(dengan maksud melihat anak saudara), ma ngam uge yuka (sudah
tahu memasak sayur), Jo ngom molahi se jo ngon na ridha ge jo ngom na ngofa
mau nafkahi mina (sekiranya jika saudara rela dijodohkan anak-anak laki
kami.
Dari
kata-kata tersebut, memang memiliki makna yang sangat dalam, yakni pihak
keluarga pria menyampaikan dengan sopan santun, yang dianggap sangat
menghormati pihak keluarga perempuan.
Seperti,
kata mangam uge yuka kata ini dapat dimaknai bahwa pihak keluarga
mempelai pria menilai sosok gadis yang dilamar, memiliki kepribadian baik,
mampu menjadi istri yang baik, makna dari kata mangam uge yuka (sudah
tahu memasak sayur) merupakan penilaian objektif bahwa memang anak gadis yang
dipinang, memang secara psikologis sudah dewasa dan memang layak dijadikan
istri dari anak mereka.
Prosesi
peminangan memang berakhir dengan kata "mau" atau "tidak",
jika maksud kedatangan pihak pria disetujui. Maka selanjutnya, mereka akan
melangsungkan pembahasan selanjutnya yakni soal biaya, serta waktu pelaksanaan
pernikahan.
Tentang
waktu, memang secara umum berlaku bagi semua suku yang ada di Maluku Utara,
yakni ada hari-hari tertentu yang dianggap hari naas, sehingga tidak tepat jika
melangsungkan pernikahan. Sebab, diyakini nanti berpengaruh terhadap rumah
tangga kedua calon mempelai.
Yang
kedua adalah Kia Sejoho, bentuk perkawinan ini memang
sudah jarang terlihat, kia sejoho atau kawin tangkap berlangsung karena
melanggar etika, misalnya: seorang pasangan muda mudi yang berpacaran pada
tempat gelap dan sunyi, yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama, maka kedua pasangan tersebut ditangkap dan
dikawainkan, agar menghindari fitnah lebih besar bagi keluarga kedua pasangan.
Selain
karena hal tersebut membuat kedua pasangan dikawinkan, ada juga persolan lain
yang membuat kia sejoho dilangsungkan yaitu, ketika kedapatan pasangan
yang belum ada ikatan pernikahan, berada pada sebuah kamar yang terkunci, maka
keduanya terpaksa harus dikawinkan. Alasanya pun sama, agar terhindar dari
fitnah yang dapat merugikan nama baik keluarga kedua belah pihak.
Yang
ketiga yaitu Kia Sobiri atau kawin lari, sama halnya
perkawinan kia sejoho, bentuk perkawinan ini memang sudah jarang
terlihat. Ada beberapa faktor yang melatari terjadinya kia sobiri ini,
yakni seperti ada pasangan yang tidak mendapat restu dari pihak keluarga,
sehingga mereka memilih untuk menempuh pernikahan lari.
Lari
di sini bukan konotasi olahraga, namun lari yang dimaksud adalah mereka
mendatangi kediaman Petugas Pembantu Pencatat Nikah Talak dan Rujuk (P3NTR)
atau ke kediaman Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), untuk melangsungkan pernikahan.
Namun,
bentuk perkawinan ini, jika seorang anak gadis yang telah berada di kediaman
P3NTR maupun rumah kepala KUA, maka terjadi mediasi, yakni didatangi rumah
orang tua si gadis tersebut, dan meyampaikan perihal kemauan si gadis. Dan
apabila, kedua orangtuanya tetap tidak menyetujui, maka perkawinan dilangsung
dengan wali hakim.
Biasanya,
perkawinan bentuk ini terjadi, selain karena pihak keluarga tidak menyujui
hubungan anak mereka, dengan pria yang dianggap tidak layak hidup bersama anak
mereka. Selain itu, perkawinan seperti ini terjadi lantaran sosok anak gadis
dijodohkan dengan pria lain, sementara si gadis telah memiliki sosok pria
idaman.
Selain
itu, perkawinan jenis ini terjadi karena terjadi kehamilan di luar pernikahan,
sehingga kedua pasangan menyepakati melarikan diri ke rumah hakim untuk melangsungkan
pernikahan. Serta, apabila terjadi peminangan tiga kali berturut-turut namun
tidak mendapat restu dari orangtua si pacar, maka perkawinan jenis ini kerap
menjadi alternatif. Hanya, hingga kini pernikahan ini sulit kita jumpai.
Dan keempat
adalah Kia Sodobe atau kawin dijodohkan, jenis perkawinan ini pun hingga
saat ini jarang terlihat. Bukan karena perkawinannya yang jarang ditemui, tapi
prosesi hingga disebut kia sodobe inilah yang memang sulit ditemui pada
setiap desa atau kelurahan di kota Tidore Kepulauan.
Pada
dasarnya kia sodobe ini berawal dari perjodohan yang dilakukan oleh
kedua belah pihak, karena merasa ada kecocokan, sehingga mereka menyepakati
untuk menjodohkan anak-anak mereka sejak kecil.
Nah, begitu
mereka menginjak usia dewasa, antara kedua keluarga meyakini sudah dapat
melangsungkan pernikahan, maka akan dibicarakan lebih lanjut, untuk mengikat
anak mereka dengan ikatan sah melalui pernikahan. Biasanya, jenis pernikahan
seperti ini dianggap untuk mempererat tali persaudaraan antara kedua pihak
keluarga.(*)
*Tulisan
ini sudah pernah terbit di Kompasiana.com