Institut Agama Islam Negeri Ternate
slider img

WEBSITE IAIN TERNATE

Selamat datang di website IAIN Ternate, pusat informasi berita dan kegiatan serta pengumuman berkaitan dengan Institut Agama Islam Negeri Ternate

slider img

Brosur Pendaftaran Mahasiswa Baru 2023

slider img
img

Mengenal Bentuk-bentuk Perkawinan menurut Masyarakat Tidore

  • By: Hilman Idrus, S.Pd.I, M.Pd
  • Jumat, 14/04/23


Indonesia memiliki beragam suku bangsa, sehingga dikenal sebagai negara multikultural. Keragaman inilah terbingkai dalam pancasila dan tetap terjaga hingga kini. Perbedaan semacam ini dalam agama pun dianggap sebagai sunatullah. Sehingga, diharapkan kita harus menghormati antarsesama anak bangsa. Karena, keragaman suku dan budaya membuat setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda pula.

Seperti di Maluku Utara sebagai salah satu daerah dengan beragam suku dan agama, dan dari setiap suku  di Maluku Utara pun memiliki tradisi yang berbeda. Untuk itu, jika kita berkunjung ke setiap daerah di Maluku Utara, pasti kita menemukan ritual adat yang berbeda-beda. 

Terlebih provinsi yang resmi terbentuk pada 4 Oktober 1999 ini, yang memiliki 10 Kabupaten/kota, sehingga keragaman tradisi dan budaya memang jelas berbeda.

Kali ini, penulis ingin membahas soal bentuk perkawinan masyarakat kota Tidore Kepulauan, di mana ada model perkawinan yang tetap terjaga hingga kini, namun ada bentuk perkawinan yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Perkawinan menurut bahasa Tidore yaitu "kia". Perkawinan yang dikenal masyarakat Tidore yaitu terdiri dari: Kia Lahi, Kia Sejoho, Kia Sobiri, dan Kia Sodobe.

Dari keempat jenis perkawinan ini, bagi generasi 80-an dan 90-an memang masih cukup familiar lantaran mereka kerap menyaksikan warga yang melangsung perkawinan pada setiap desa maupun kelurahan. Namun, bagi generasi 2000-an, mereka lebih mengenal jenis perkawinan Kia Lahi.

Karena Kia Lahi merupakan jenis perkawinan sesuai ajaran agama Islam. Sementara, jenis perkawinan: Kia Sejoho, Kia Sobiri, dan Kia Sodobe, hingga kini jarang ditemui di masyarakat. Walaupun pada prinsipnya sama yakni mengikat kedua pasangan dengan ikatan sah perkawinan, hanya saja, hingga kini warga lebih memilih mengikuti tradisi Kia Lahi atau dengan cara meminang.

Lebih jelasnya, penulis menjelaskan satu persatu jenis perkawinan tersebut, agar nantinya menambah pengetahuan kita semua, terlebih jika ada yang tertarik untuk membuat penelitian lebih jauh soal bentuk-bentuk perkawinan ini. Lantaran penulis sendiri berasal dari kota Tidore Kepulauan, sehingga dari kecil hingga dewasa kerap menyaksikannya, maka sekadar berbagi pengetahuan.

Yang pertama Kia Lahi (Perkawinan dengan cara meminang), bentuk perkawinan ini bukan hanya terdapat di kota Tidore Kepulauan, namun berlaku bagi semua daerah di Indonesia. 

Sebagaimana di Tidore, yang dikenal dengan Kia Lahi. Prosesnya, calon mempelai pria mengirim utusan yang terdiri orang-orang yang dianggap memiliki kecakapan soal pernikahan. Sebab, pertemuan ini -- meminang, sangat berbeda dengan pertemuan lainnya.

Utusan dari pihak calon mempelai pria, ini dalam bahasa Tidore disebut "Papa se Yuma" yang nantinya disambut oleh keluarga calon mempelai wanita, yakni "Yaya se Goa" biasanya dalam aturan  meminang ini, utusan rombongan peminang, dipimpin oleh orang yang sangat dihormati dalam keluarganya atau yang dituakan.

Sehingga, hal ini menghadirkan kepuasaan bagi pihak calon mempelai wanita, untuk itu dalam hal meminang memang menjunjung etika, dan adat istiadat. Karena, prosesi inilah nanti berpengaruh terhadap keberlangsungan rumah tangga kedua pasangan suami-istri.

Dan tentunya, kehadiran pihak calon mempelai pria pun mengikuti tradisi yang sudah terjadi turun temurun, yakni soal pesan yang hendak disampaikan pihak rombongan pria ke keluarga calon mempelai wanita. Biasanya, jika calon mempelai wanita juga berasal dari Tidore, maka bahasa yang disampaikan pun menggunakan bahasa Tidore, namun hal ini tidak berlaku jika calon mempelai wanita dari suku lain, yang tidak dapat memahami bahasa Tidore.

Untuk itu, bahasa yang disampaikan walaupun terkadang ada perbedaan pada diksi, namun secara umum hampir sama yakni, "Ngom lahi maaf, (kami minta maaf) jo ngom mo yado ena re (kami datang di sini) sema maksud mohoda jo ngon na ngofa,(dengan maksud melihat anak saudara), ma ngam uge yuka (sudah tahu memasak sayur), Jo ngom molahi se jo ngon na ridha ge jo ngom na ngofa mau nafkahi mina (sekiranya jika saudara rela dijodohkan anak-anak laki kami.

Dari kata-kata tersebut, memang memiliki makna yang sangat dalam, yakni pihak keluarga pria menyampaikan dengan sopan santun, yang dianggap sangat menghormati pihak keluarga perempuan.

Seperti, kata mangam uge yuka kata ini dapat dimaknai bahwa pihak keluarga mempelai pria menilai sosok gadis yang dilamar, memiliki kepribadian baik, mampu menjadi istri yang baik, makna dari kata mangam uge yuka (sudah tahu memasak sayur) merupakan penilaian objektif bahwa memang anak gadis yang dipinang, memang secara psikologis sudah dewasa dan memang layak dijadikan istri dari anak mereka.

Prosesi peminangan memang berakhir dengan kata "mau" atau "tidak", jika maksud kedatangan pihak pria disetujui. Maka selanjutnya, mereka akan melangsungkan pembahasan selanjutnya yakni soal biaya, serta waktu pelaksanaan pernikahan. 

Tentang waktu, memang secara umum berlaku bagi semua suku yang ada di Maluku Utara, yakni ada hari-hari tertentu yang dianggap hari naas, sehingga tidak tepat jika melangsungkan pernikahan. Sebab, diyakini nanti berpengaruh terhadap rumah tangga kedua calon mempelai.

Yang kedua adalah Kia Sejoho, bentuk perkawinan ini memang sudah jarang terlihat, kia sejoho atau kawin tangkap berlangsung karena melanggar etika, misalnya: seorang pasangan muda mudi yang berpacaran pada tempat gelap dan sunyi, yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka kedua pasangan tersebut ditangkap dan dikawainkan, agar menghindari fitnah lebih besar bagi keluarga kedua pasangan.

Selain karena hal tersebut membuat kedua pasangan dikawinkan, ada juga persolan lain yang membuat kia sejoho dilangsungkan yaitu, ketika kedapatan pasangan yang belum ada ikatan pernikahan, berada pada sebuah kamar yang terkunci, maka keduanya terpaksa harus dikawinkan. Alasanya pun sama, agar terhindar dari fitnah yang dapat merugikan nama baik keluarga kedua belah pihak.

Yang ketiga yaitu Kia Sobiri atau kawin lari, sama halnya perkawinan kia sejoho, bentuk perkawinan ini memang sudah jarang terlihat. Ada beberapa faktor yang melatari terjadinya kia sobiri ini, yakni seperti ada pasangan yang tidak mendapat restu dari pihak keluarga, sehingga mereka memilih untuk menempuh pernikahan lari. 

Lari di sini bukan konotasi olahraga, namun lari yang dimaksud adalah mereka mendatangi kediaman Petugas Pembantu Pencatat Nikah Talak dan Rujuk (P3NTR) atau ke kediaman Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), untuk melangsungkan pernikahan.

Namun, bentuk perkawinan ini, jika seorang anak gadis yang telah berada di kediaman P3NTR maupun rumah kepala KUA, maka terjadi mediasi, yakni didatangi rumah orang tua si gadis tersebut, dan meyampaikan perihal kemauan si gadis. Dan apabila, kedua orangtuanya tetap tidak menyetujui, maka perkawinan dilangsung dengan wali hakim. 

Biasanya, perkawinan bentuk ini terjadi, selain karena pihak keluarga tidak menyujui hubungan anak mereka, dengan pria yang dianggap tidak layak hidup bersama anak mereka. Selain itu, perkawinan seperti ini terjadi lantaran sosok anak gadis dijodohkan dengan pria lain, sementara si gadis telah memiliki sosok pria idaman.

Selain itu, perkawinan jenis ini terjadi karena terjadi kehamilan di luar pernikahan, sehingga kedua pasangan menyepakati melarikan diri ke rumah hakim untuk melangsungkan pernikahan. Serta, apabila terjadi peminangan tiga kali berturut-turut namun tidak mendapat restu dari orangtua si pacar, maka perkawinan jenis ini kerap menjadi alternatif. Hanya, hingga kini pernikahan ini sulit kita jumpai.

Dan keempat adalah Kia Sodobe atau kawin dijodohkan, jenis perkawinan ini pun hingga saat ini jarang terlihat. Bukan karena perkawinannya yang jarang ditemui, tapi prosesi hingga disebut kia sodobe inilah yang memang sulit ditemui pada setiap desa atau kelurahan di kota Tidore Kepulauan. 

Pada dasarnya kia sodobe ini berawal dari perjodohan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, karena merasa ada kecocokan, sehingga mereka menyepakati untuk menjodohkan anak-anak mereka sejak kecil.

Nah, begitu mereka menginjak usia dewasa, antara kedua keluarga meyakini sudah dapat melangsungkan pernikahan, maka akan dibicarakan lebih lanjut, untuk mengikat anak mereka dengan ikatan sah melalui pernikahan. Biasanya, jenis pernikahan seperti ini dianggap untuk mempererat tali persaudaraan antara kedua pihak keluarga.(*)

 

*Tulisan ini sudah pernah terbit di Kompasiana.com

  • Share on :