post-image

Jadi Dosen Tamu Fakultas Syari’ah IAIN Ternate, Ketua PA Labuha Paparkan Hukum Acara Peradilan Agama

TERNATE – Setelah menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara fakultas Syari’ah IAIN Ternate dan Pengadilan Agama Labuha, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Ketua Pengadilan Agama Labuha, Bahri Conoras, S.H.I, didapuk sebagai dosen tamu untuk menyampaikan kuliah tamu kepada mahasiswa fakultas Syari’ah IAIN Ternate.
Kuliah tamu bertajuk Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, berlangsung di laboratorium fakultas Syari’ah, Selasa (23/7/2024), diikuti oleh dekan Fasya Prof Dr H Jubair Situmorang, M.Ag dan para wadek Fasya, unsur pimpinan PA Labuha, serta tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa Fasya.
Dalam kesempatan tersebut, ketua PA Labuha, Bahri Conoras, S.H.I, terlihat cukup bersemangat mengedukasi mahasiswa fakultas Syari’ah soal hukum acara peradilan agama.
Ia memaparkan bahwa hukum acara peradilan agama pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur soal cara orang yang mengajukan gugatan kepada pengadilan dan melakukan persidangan, yakni cara pihak tergugat tergugat mempertahankan diri dari gugatan, cara hakim bekerja; baik setelah menerima perkara, kemudian memeriksa dan melaksanakan persidangan dan memutuskan perkara yang diajukan oleh pihak penggugat.
“Agar supaya persidangan itu rapih, pihak pengadilan mengatur atau memberi hak kepada pihak penggugat dan tergugat dalam mengajukan replik maupun duplik, begitu juga terkait dengan gugatan balik tergugat kepada penggugat (rekonvensi, red),” jelasnya.
“Jadi dalam sebuah perkara, gugatan pertama atau gugatan asli disebut konvensi, dan apabila ada gugatan balik oleh tergugat disebut rekonvensi,” tambahnya.
Dia menjelaskan, di dalam hukum acara peradilan, baik untuk pengadilan agama dan pengadilan negeri dengan perdata umum semuanya sama, hanya sedikit perbedaan. Perbedaan tersebut, lajut dia, mengacu pada UU nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, yakni ada aturan yang berlaku khusus, seperti ikrar talak, isbat nikah, dan sejenisnya.
“Tentu perbedaannya hanya sedikit, tapi secara umum terkait hukum acara semuanya sama,” terangnya.
Untuk itu, ia meminta kepada mahasiswa fakultas Syari’ah, selain mempelajari hukum acara perdata, harus perlu memperdalam juga soal hukum formil. Karena menurutnya, tujuan dari hukum acara adalah mewujudkan hak-hak materiil orang-orang yang beracara atau bersengketa dalam bentuk putusan pengadilan.
“Yang mengatur agar supaya hak-hak orang yang bersengketa itu terpenuhi, yaitu melalui hukum acara, ada penggugat, ada hakim, ada tergugat, pembacaan gugatan, ada jawaban, dan ada rekonvensi,” paparnya.
Dia menambahkan, di dalam hukum acara peradilan, ada dua istilah yang kerap mengakrabi telinga yakni posita dan petitum. Posita, lanjut dia, merupakan bagian gugatan yang menguraikan tentang fakta-fakta sosiologis yang dikaitkan dengan aspek yuridis dalam pandangan hukum.
Sedangkan, potitum kata dia, merupakan bagian gugatan yang memuat soal hal-hal yang secara kongkrit dituntut atau diminta oleh penggugat, untuk diterapkan oleh pengadilan dalam sebuah putusan.
“Jadi, kalau bikin gugatan itu harus cerita secara detail tentang permasalahan tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, secara garis besar ada dua produk pengadilan, yaitu putusan dan penetapan. Untuk itu, lajut dia, jika orang berbicara soal putusan, praktis mengacu pada menang dan kalah. Sementara pada penetapan merupakan keputusan pengadilan atas perkara permohonan.
“Contoh sederhanya, seperti suami istri yang menikah tapi tidak tercatat di KUA atau Pengadilan Agama, mereka kemudian meminta diisbatkan (disahkan), sehingga penetapan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama lalu dibawa ke KUA untuk dicatatkan pernikahan tersebut, itulah yang namanya penetapan, artinya tidak ada lawan dalam perkara tersebut, tapi yang ada hanya permohonan atau disebut perkara voluntair,” jelas alumni fakultas Syari’ah IAIN Ternate.
Lebih jauh, dia menjelaskan, sebelum diberlakukan UU No.3 tahun 2006 tentang perubahan UU No.7 tahun 1989, Pengadilan Agama, kata dia, masih sebatas menangani perkara perkawinan, waris dan sejenisnya.
Namun, kata dia, sejak UU No 3 tahun 2006 diberlakukan, pada perubahan pertama, ada penambahan sengketa yang ditangani Pengadilan Agama yaitu sengketa ekonomi syari’ah, seperti bisnis syari’ah, pegadaian, bank syari’ah, asuransi syari’ah dan sejensinya.
“Jadi Pengadilan Agama memiliki wilayah sengketa untuk perkara-perkara sudah tidak lagi hanya perkawinan dan waris saja, begitupun juga, dulu juru sita masih harus ada izin dari pengadilan negeri, tapi sekarang sudah tidak lagi,” katanya.
“Untuk itu, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sudah sama statusnya sekarang, setelah melalui perubahan kedua UU No 50 tahun 2009,” pungkasnya.
Penulis: Hilman Idrus