post-image

[OBITUARI] Dr H Sulaiman L Azis, M.Si, “Pengabdian Tanpa Batas”

Dari puluhan penumpang kapal KM Bentenan tujuan Ternate, ada satu sosok remaja berusia 18 tahun, duduk menyendiri di geladak kapal ditemani sebuah tas ransel, sambil menatap terangnya sinar bulan dan bintang di malam hari, sosok tersebut adalah Sulaiman L Azis pemuda asal kelahiran Kabaena, Baubau, Sulawesi Tengara, 23 Desember 1953.

Dia memilih ikut berlayar ke Ternate, lantaran ingin menuntaskan pendidikan PGA 4 Tahun. karena pada September 1967 terjadi kebakaran hebat melanda rumah warga pada salah satu perkampungan di Kendari, kebakaran tersebut disinyalir dilakukan oleh orang-orang yang terlibat pada organisasi terlarang, PKI.
Dari ratusan rumah yang terbakar ketika itu, termasuk rumah milik pamannya, Muhammad Safiuddin (anggota Konstituante utusan Sulawesi Tenggara). Yang ia tinggali selama menempuh pendidikan PGA 4 tahun.

Sejak musibah itu, dia berpikir melanjutkan pendidikannya di Makassar. Namun, tiba-tiba pikirannya melayang jauh ke Ternate, karena berdasarkan informasi dari keluarganya, bahwa di Ternate, ada salah satu pamannya, H Muslihi Azis, pegawai kabupaten Maluku Utara, begitu mendengar informasi tersebut, walaupun keinginan ke Makassar dan diminta oleh salah seorang gurunya Ustad A Bine, untuk kembali bersekolah di PGA 4 Tahun di Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Namun, tekadnya sudah bulat, harus merantau ke Ternate dan tinggal bersama pamannya.

Kapal KM Bantenan yang ditumpangi itu, di palka kapal terlihat dipenuhi puluhan karung beras milik salah seorang pengusaha asal Kabaena, Baubau, yang dijual ke Ternate. Dan, dari puluhan warga yang menumpangi kapal Bantenan, rupanya tenaga kerja Kopra di Mangoli.
Kapal yang semula tujuan ke Ternate, namun begitu singgah di pelabuhan Tikong Taliabu, beras pada kapal kemudian dibeli oleh seorang pengusaha, sehingga kapal Bantenan pun tidak lagi melanjutkan perjalanan ke Ternate.

Begitu pun juga, semua penumpang – tenaga kerja Kopra, memilih singgah di Pelabuhan Tikong, Taliabu. Dan melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Dofa, Mangoli. Karena tidak ada kapal ke Ternate, maka dia pun diajak oleh para pekerja Kopra untuk mengikuti mereka, selama 3 bulan ikut bekerja kopra milik dua warga Mangoli.

Setelah tuntas bekerja Kopra, upah kerja yang diperolehnya pun dimanfaatkan sebagai bekal ke Ternate, dia diberitahu oleh seorang warga, bahwa jika ingin ke Ternate, maka harus ke pulau Sanana (Kepulauan Sula), seminggu berada di Sanana, dan mendapat informasi bahwa ada sebuah kapal milik TNI AL yang hendak ke Ternate. Namun, karena terlambat ke pelabuhan, akhirnya ia pun gagal berangkat.

Dan berselang dua hari kemudian, Kapal KM Bantenan pun bersandar di pelabuhan Sanana, yang membawa kopra milik seorang pengusaha asal Mangoli untuk dijual ke Ternate. Selama dua hari berlayar, akhirnya kapal pun tiba di Ternate, tepatnya pada Februari 1968. Karena, sejak di Kendari, dia sudah berada di kelas III PGA 4 tahun, maka di Ternate sambil menunjukkan surat pindahnya, maka ia pun diterima sebagai siswa pada sekolah PGA 4 tahun di Kelurahan Kasturian (sekarang SD Islamiyah Ternate).

Setelah menuntaskan PGA 4 tahun, dia tetap melanjutkan PGA 6 tahun di Ternate, menariknya saat itu, katanya, karena dikenal sebagai siswa paling disiplin, menjaga kerapian berpakaian, kreativitas dan pintar. Sehingga, diberi beasiswa dari pihak sekolah, serta dipilih menjadi ketua OSIS PGA 6 tahun.
“Kepala sekolah kami ketika itu adalah mertuanya (alm) Abd Rahman Ismail Marasabessy, Hasan Umarella, BA. Beliaulah, sangat berjasa buat saya dan teman-teman ketika itu, namun sejak menjadi ketua OSIS, saya lah yang memimpin aksi protes terhadap beliau dan membuat beliau dipindahkan ke Ambon,” ujarnya mengenang aksi protes kepada pihak sekolah kala itu.

Sejak aksi protes terhadap pihak sekolah, dia dan beberapa temannya yang juga pengurus OSIS PGA 6 tahun, akhirnya ditahan selama 5 hari di kantor polisi, buntut dari aksi yang mereka lakukan dan penahanan tersebut, akhirnya pada 1971 dia pun dinyatakan tidak lulus. Barulah, pada 1972 setelah kepala sekolah Hasan Umarella dipindahkan ke Ambon, dan di tahun tersebut dia dan beberapa temannya dapat menyelesaikan studi di PGA 6 tahun.

Setelah menuntaskan pendidikan PGA 6 tahun, maka ia pun memilih malanjutkan studi di IAIN Alauddin Ujung Pandang Cabang Ternate pada 1972. Saat itu, katanya, mereka melangsungkan perkuliahan pada salah satu gedung milik warga Thionghoa yang dihibahkan kepada pemda Kabupaten Maluku Utara. Dan, semua dosen kala itu, merupakan dosen tidak tetap.

Ada sekitar 11 dosen IAIN Alauddin Ujung Pandang Cabang Ternate saat itu, diantaranya: Drs Husen Alhadar, wakil Dekan Salim Amin, MA, dosen Hadist Ustad Ali Albar, Lc, dosen Bahasa Inggris Yusuf Abdurahman dan Abdurahman Langkeng, BA, Drs Syarifuddin dan D.A Mustafa (dosen ilmu pendidik), Saleh Sambihu, BA (dosen dedaktik metodik), Kapten ZA Daulay (dosen Ilmu Kalam), Aqil Rejeb (dosen Sosiologi), Ustad Umar Muksin (dosen pengantar ilmu Tafsir), KH. Abdullah Halil (dosen Akhlak Tasauf), Amarullah A Bahruddin (dosen ilmu pendidikan), dan Adnan Amal, SH (dosen Pancasila).

“Dari Sebelas orang dosen yang mengajari kami ketika kala itu, ada satu sosok yang menginpirasi saya, yaitu bapak Adnan Amal, SH, setiap perkuliahan dia selalu membawa diktat dan dari diktat tersebut saya catat semua materi yang diajarkan kepada kami, dari situlah timbul keinginan bahwa suatu saat nanti, jika saya menjadi dosen akan saya menulis buku, dan terbukti hingga kini, kurang lebih 10 buku yang sudah saya terbitkan, itulah sosok inspirasi saya,” ujarnya, lalu melempar senyum kepada penulis.

Sebagai mahasiswa, tentunya juga terlibat pada organisasi; baik intra kampus maupun ektra kampus. Selain, aktif pada organisasi intra kampus, kala itu, dia juga aktif pada organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ternate dan menjabat sebagai Sekretaris HMI pada periode 1974-1975, sementara ketua HMI adalah (alm) Ahmad Abae.

“Memang, begitu banyak kegiatan yang kami lakukan ketika itu, baik di HMI mapun di organisasi kemahasiswaan di kampus. Dan, salah satu kegiatan yang paling berkesan selama aktif pada organisasi kemahasiswaan adalah musyawarah Senat Mahasiswa IAIN se-Indonesia Timur yang berlangsung di Ternate, tepatnya di gedung pertemuan (saat ini kantor Kejaksaan Negeri Tinggi Maluku Utara),” katanya

Pada 1975 ia pun resmi menyandang gelar sarjana muda, maka tepat di bulan November 1975 dia melanjutkan pendidikan doktoral (S-1), di IAIN Alauddin Makassar, selama menempuh pendidikan di Makassar, ia juga memanfaatkan waktu menjadi guru honorer pada Madrasah Mualimin Muhammadiyah Sungguminasa dari tahun 1975 hingga 1979. Dan, berawal dari menjadi guru hononer pada madrasah milik yayasan Muhammadiyah inilah, setelah kembali pulang ke Ternate, ia berperan penting terhadap lembaga pendidikan milik Muhammadiyah di Ternate.

“Mata pelajaran yang saya ajarkan ketika itu adalah Geografi, dan gaji per bulan Rp 1.000 rupiah,” kenangnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan doktoral (S-1) pada 1979, dan kembali ke Ternate pada tahun 1980 mengajar di SMA Muhammadiyah Ternate, sekaligus menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Kemudian, diminta oleh Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, Drs Syahbuddin mengajar di IAIN.

Drs Syahbuddin -- kala itu, baru tiba di Ternate, sebelum mendapat kontrakan, beliau sempat tinggal bersama Pak Sulaiman dan pamannya H Muslihi Azis. Berawal dari tinggal serumah dengan Pak Syahbuddin, lalu ia diminta menjadi dosen honorer di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, dan Pak Syahbuddin berjanji membantu mengurus tes CPSN di Ambon.

Selama setahun mengajarkan mata kuliah administrasi pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, sambil mengajar di SMA Muhammadiyah dan pada 1981 ada informasi penerimaan CPNS di Ambon, namun lantaran menumpangi kapal perintis dan menempuh perjalanan selama 6 hari ke Ambon, sehingga begitu tiba, sudah terlambat mengikuti tes CPNS. Dan pada 1982 ia lulus tes CPNS sebagai pegawai Kanwil Agama Provinsi Maluku. Lalu kembali ke Ternate, mengajar di kampus seperti biasanya, sambil menunggu informasi prajabatan.

Pada bulan Februari 1982 ia bersama salah satu pegawai Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, (alm) Harun Ahmad dipanggil mengikuti diklat prajabatan di Ambon. “Saat itu, ke Ambon dengan pesawat Merpati, harga tiketnya Rp 40 ribu per orang, kami ikuti prajab selama dua minggu di hotel Monalisa, Ambon provinsi Maluku,” ujarnya.

Setelah mengikuti diklat prajabatan, Pimpinan Muhammadiyah Kabupaten Maluku Utara, Amrullah A Bahruddin, BA mengirim surat kepada Kakanwil Agama di Ambon, meminta agar ia diperbantukan di Ternate, dengan tujuan selain mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, juga menjadi tenaga pengajar pada SMA Muhammadiyah Ternate.

Karena, berdasarkan permintaan, maka Kakanwil Agama provinsi Maluku, menginstruksikan kepada Kabag Kepegawaian, J. Sutrahitu membuat surat tugas diperbantukan sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, “kalau saja, ketika itu tidak ada rekomendasi, berarti saya bekerja di Ambon,” ujarnya.

Sebagai dosen di IAIN -- mengajar dari pukul 8 hingga 12 siang, lalu pada pukul 14 hingga sore hari mengajar di SMA Muhammadiyah Ternate, gajinya ketika itu, pada setiap bulan dikirim dari Ambon ke Ternate melalui Kandepag Ternate. Dan, pada 1985 gajinya resmi dipindahkan ke Kandepag Ternate.
Karena, mengabdi untuk IAIN dan SMA Muhammadiyah Ternate. Sehingga, rasanya cukup sulit jika tidak memiliki kendaraan pribadi, maka pada 1987 beliau pun menggunakan sepeda motor.

“Ketika itu, saya menggunakan sepeda motor jenis Yamaha RX 100, motor tersebut, saya kredit dengan cicilan Rp 25 ribu per bulan, dari motor itulah, saya mulai leluasa mengajar di kampus, sambil menjalani tugas sebagai tenaga pengajar dan wakil kepala sekolah di SMA Muhammadiyah Ternate,” katanya mengenang kipranya sebagai tenaga pengajar di SMA Muhammadiyah Ternate, seraya berujar hanya tiga orang yang saya ceritakan pengalaman hidup saya, dan Hilman merupakan satu dintara ketiga orang tersebut.

Kata Pak Eman, begitu sapaan akrabnya, ketika itu dari 1980-1988 SMA Muhammadiyah Ternate merupakan sekolah dengan siswa terbanyak, karena begitu banyaknya siswa hingga mereka memakai tiga sekolah di lokasi yang berbeda, yaitu eks kantor KPPN Ternate Jl. Zainal Abidin Syah kelurahan Takoma, gedung SD Inpres Bastiong dan gedung SP (sekolah persiapan) IAIN di kelurahan Tanah Tinggi Ternate, yang dikelolah oleh salah satu pegawai Kandepag Ternate, Bujang Hasan.

Walaupun berperan penting atas pengembangan SMA Muhammadiyah Ternate, namun di tahun 1990, setelah IAIN resmi membuka program Diploma Dua (D2) ia tak lagi fokus di SMA Muhammadiyah, lantaran begitu banyaknya mahasiswa Diploma Dua.

Karena, ketika itu bukan hanya jabatan sebagai wakil kepala sekolah SMA Muhammadiyah Ternate, namun sejak 1983-1987, ia juga menjabat sebagai kepala perpustakaan di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ujung Pandang cabang Ternate, selain itu, dipercayakan sebagai Sekretaris Jurusan Agama merangkap sekertaris Tadris jurusan IPA dari 1987-1988. Begitupun juga, kesibukannya sebagai dosen tidak tetap pada Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate pada 1988-1990.

Sehingga, setelah IAIN resmi membuka program Diploma Dua (D2), ia merasa bahwa kesibukan di kampus lebih bertambah, dan memilih melepaskan jabatan sebagai wakil kepala sekolah sekolah SMA Muhammadiyah Ternate.

Walaupun, mengajar di IAIN dan SMA Muhammadiyah Ternate, namun ia masih tercatat sebagai pegawai yang diperbantukan, maka pada 1994 diusulkan menjadi tenaga pengajar tetap di IAIN, dan pada 1996 diangkat menjadi dosen tetap di IAIN, berselang setahun kemudian Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Cabang Ternate, resmi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate.

Keputusan Pesiden RI Nomor 11 tahun 1997, maka Fakultas Tarbiyah resmi menjadi STAIN Ternate, disertai dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia nomor 314 tahun 1997 tentang Organisasi dan tata kerja STAIN Ternate, dan Surat Keputusan Menteri Agama RI nomor 247 tahun 1997 tentang Status STAIN Ternate, maka secara resmi Fakultas Tarbiyah Alauddin di Ternate berubah status menjadi STAIN Ternate. Selain itu, Surat diterbitkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia No.E/136/1997 tertanggal 30 Juni 1997 sekaligus menandai harta milik Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin di Ternate secara resmi menjadi milik STAIN Ternate.

Sejak Fakultas Tarbiyah resmi menjadi STAIN Ternate, dan menduduki sejumlah jabatan penting seperti menjadi Kabag Administrasi, Kepala Sub Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Sekretaris Senat, kemudian diminta mencalonkan menjadi ketua STAIN Ternate pada 2010, namun ia menolak dan lebih memilih konsentrasi sebagai sekretaris program pascasarjana dan membiarkan teman-temannya yang berkompetisi menjadi ketua STAIN Ternate.

Dan, begitu Dr Abd Rahman Ismail Marasabessy terpilih menjadi ketua STAIN Ternate, maka ia pun dipercayakan sebagai Kepala Sumber Belajar (PSB), karena dedikasi dan loyalitas terhadap lembaga, sehingga dua kali ia terpilih sebagai dosen teladan STAIN Ternate pada tahun 2000 dan dosen teladan IAIN Ternate 2018.

Selain menduduki jabatan penting di kampus, beliau pun dipercayakan memimpin organisasi paguyuban asal Sulawesi Tenggara, Himpunan Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara sejak 1998-2004, Ketua Dewan Masjid Indonesia Provinsi Maluku Utara 2000-2018, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku Utara 2000-2016, dan aktif sebagai penceramah; baik di RRI Ternate maupun diundang ke sejumlah kabupaten dan kota di Maluku Utara.

Walaupun, sejak diterbitkan Surat Keputusan (SK) pensiunan sebagai PNS/Dosen pada 1 Januari 2019, namun ia tetap mengabdi untuk lembaga yang ia cintai, IAIN Ternate. ia dipercayakan sebagai tenaga pengajar pada program pascasarjana (S-2) IAIN Ternate, begitu pun juga mengajar pada mahasiswa strata satu (S-1).

Sebagai dosen pascasarjana, ia dianggap sebagai sosok inspirasi bagi mahasiswa, lantaran dikenal sebagai dosen yang rajin memberi perkuliahan, serta disiplin pada waktu perkuliahan. Sehingga, pada suatu kesempatan, di dalam ruang kuliah, salah seorang teman berkelakar “ jika semua dosen yang mengajar di pascasarjana, rajin dan disiplin waktu seperti Pak Eman, pasti kereeen.”

Dr H Sulaiman L Azis, M.Si memang dikenal sebagai salah satu dosen senior di IAIN Ternate yang memiliki loyalitas serta dedikasi yang cukup tinggi, hal ini dibuktikan dari perannya sebagai tenaga pengajar di IAIN Ternate, baik tercatat sebagai dosen aktif maupun setelah pensiun.

Walaupun, beberapa kali ketika penulis berkunjung ke rumahnya dan mengobrol bersama, ia menaruh hasrat ingin kembali ke kampung halamannya di Desa Kabaena, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara – menikmati masa tuanya di sana (Baubau). Namun, kecintaan terhadap almamaternya, IAIN Ternate, terlebih sebagai tenaga pegajar yang mendidik mahasiswa, membuat ia urung menuntaskan hasrat kembali pulang ke kampung halamannya.

“Semoga, pandemi covid-19 cepat berlalu, saya bersama istri kembali ke kampung,” ujarnya pada penulis pada suatu kesempatan di kediamannya.
Niat untuk kembali ke tanah kelahirannya, pun terlaksana, pada pertengahan maret yang lalu, beliau jatuh sakit dan sempat dirawat selama bebarapa hari di RSUD Dr. Chasan Boesoirie Ternate, dan begitu dinyatakan sembuh dan kembali ke rumah. Dan, pada Kamis malam, tepat pukul 24, beliau menghembuskan napas terakhirnya.

Kabar kematiannya pun menyentak semua kalangan, terlebih mahasiswa pascasarjana IAIN Ternate, program studi Pendidikan Agama Islam (PAI), lantaran sesuai jadwal perkuliahan semester genap, beliau sebagai dosen pengampuh salah satu mata kuliah, yang juga sesuai basic keilmuannya.

Dr H Sulaiman L Azis, M.Si adalah sosok inspirasi bagi mahasiswa dan seluruh dosen di IAIN Ternate, inspirasi soal dedikasi dan loyalitas “tanpa batas” terhadap kampus, datang di Ternate pada usia remaja, dan mengabdikan diri hingga menutup usia di Ternate, merupakan bukti kecintaan yang luar biasa terhadap IAIN Ternate. Sebab, walaupun usianya tidak lagi muda, namun semangatnya, boleh dikata seperti anak muda.

Sebagai manusia yang tak luput dari dari dosa. Semasa hidup, almarhum tentu pernah berbuat salah, baik disengaja maupun tidak. Sebagai muridnya meminta semua pihak memaafkan segala khilaf yang pernah diperbuat almarhum, Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menerima semua amal baiknya, dan menempatkan almarhum di sisi-Nya. Selamat jalan Pak Eman!.