post-image

GURUKU ADALAH CAHAYA DALAM KEGELAPAN

Hiroshima dan Nagasaki menjadi saksi bisu dalam sejarah kekalahan Jepang di perang dunia kedua. Setelah Amerika Serikat dan sekutunya, berhasil meluluh lantakan kedua kota ini dengan kekuatan dahsyat bom atom yang dijatuhkan pada tahun 1945.

Tragedi kemanusiaan itu, selain menimbulkan kerugian material cukup besar juga menghilang ribuan jiwa manusia. Di tengah keterpurukan situasi negara dalam menghadapi ancaman maut akibat kekalahan perang. Dampak dari ancaman tersebut juga turut terasa keseluruh pelosok tanah air, karena kondisi Jepang pasca kejatuhan bom atom benar-benar berada dalam kegelapan yang sangat memperihatinkan.

Namun Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang ketika itu, mengambil inisiatif untuk mengumpulkan para jenderal yang masih tersisah. Lantas bertanya kepada mereka, berapa jumlah guru yang masih hidup? bukan sebaliknya bertanya berapa jumlah tantara yang tewas.

Tanpa disangka pertanyaan ini sungguh mengejutkan, tetapi para jenderal dengan sikap tegas mengatakan bahwa mereka masih mampu memberikan pengamanan dan melindungi keselamatan Sang Kaisar tanpa harus bantuan guru.

Atas jawaban para dewan jenderal, Kaisar dengan cerdas memberikan ulasan inspiratifnya bahwa bangsa kita telah jatuh terpuruk akibat tidak belajar dari pengalaman. Jepang memang kuat dari segi persenjataan dan strategi perang.

Tetapi faktanya, pasukan kita mengalami kekalahan menaklukan musuh. Sepertinya kita tidak pernah belajar mengetahui cara membuat bom atom yang berkuatan dahsyat membumihanguskan kota Hiroshima dan Nagasaki. Bagaimana mungkin kita bisa bangkit mengejar ketertinggalan, jika kita tidak ingin belajar, kata Kaisar Hirohito.

Jawaban kritis Sang Kaisar, ternyata mampu mematahkan argumentasi dewan jenderal. Akhirnya Kaisar pun langsung mengambil langkah cepat mengumpulkan para guru yang berada di berbagai penjuru kota, dan masih tersisah sekitar 45 ribu guru.

Keberadaan mereka justru menjadi tumpuan dan harapan rakyat jepang, lanjut paduka yang muliah, bukan lagi bergantung kepada kekuatan pasukan tempur atau bala tentara Heho. Momentum ucapan ini lahir dari proses berpikir akal sehat seorang pemimpin tertinggi, sekaligus menandai tonggak sejarah baru bagi kebangkitan jepang untuk melakukan percepatan pembangunan menjadi negara maju dicapai dalam kurun waktu 20 tahunan.

Pernyataan Sang Kaisar tersebut, bukan sekadar mengenang titik balik peristiwa Hiroshima dan Nagasaki. Tetapi untuk membuktikan bahwa dalam kondisi bangsa yang sesulit seperti apapun guru jangan dilupakan. Guru membuat kita mengenal ilmu pengetahuan melalui angka, huruf, dan atau membaca tanda-tanda alam. Mereka menuntun kita dari keadaan tidak tahu menjadi tahu, bahkan terus berjuang tanpa rasa lelah hanya untuk membesarkan anak didik yang dibanggakannya meraih prestasi dan mendoakannya selalu sukses dalam karir.

Peran, tugas, dan tanggungjawab yang diberikan negara kepada guru terlampau berat, hampir tidak sebanding dengan imbal jasa yang mereka terima. Kondisi ini seringkali membuat kita merasa miris terhadap kehidupan sebagian guru.

Mereka terpaksa harus bekerja lebih keras lagi menambah pendapatan di luar profesinya. Entah dengan berbagai cata seperti membuka les privat di rumah, menerima layanan jasa ojek, atau berbagai bentuk pekerjaan lain berupa, pedagang ikan, penjual bunga.

Semua ini terpaksa dijalani tanpa harus berkeluh kesah kepada siapapun demi memenuhi kebutuhan keluarga. Prinsipnya yang penting halal, sepanjang masih ada jalan, tak perlu malu diketahui oleh teman atau orang lain yang mungkin pernah mengenalnya. Mengandalkan gaji rasa sudah tidak cukup lagi untuk menghidupi keluarga, karena tiap bulan hanya menerima tagihan pemotongan utang di bank, belum termasuk utang piutang di sejumlah lembaga donor lainnya.

Fenomena guru mencari pekerjaan sampingan terkesan menjadi potret buram bagi dunia pendidikan kita. Efek berantai yang akan dirasakan adalah kinerja guru di sekolah akan semakin buruk dan berdampak negatif terhadap proses pembelajaran yang mengakibatkan kualitas siswa menurun dan tidak kompetitif.

Sebab, waktu dan tenaga mereka akan tersedot atau dikuras habis untuk mengejar pendapatan mengais rezki di luar profesinya. Namun demikian, eksistensi guru profesional memang patut dihargai untuk menjaga marwah pendidikan nasional terutama dinegeri seribu pulau ini.

Sehingga, kita menunggu kebijakan strategis pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan guru sesuai dengan janji politik presiden Prabowo. Kita berharap isu mengenai kenaikan tunjangan profesi guru Rp 2 juta benar-benar terwujud dipenghujung tahun 2024 ini.

Refleksi kita di momentum hari guru nasional 25 November 2024, sebagai orangtua siswa, tentu sangat menghendaki agar guru tetap tegar mengahadapi tantangan dan cobaan seberat apapun, serta harus mampu menjaga marwah pendidikan bangsa ini. Kembalikan guru ke khittah perjuangan yang sesungguhnya, supaya selalu dikenang sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Mereka mungkin tidak butuh tanda jasa, karena yang dibutuhkan oleh mereka adalah imbal jasa yang layak, adil, dan sejahtera.

Guru merupakan jabatan professional, pekerjaan mengajar bisa dilaksanakan siapapun dan kapan pun tanpa dibatasi ruang dan waktu. Tetapi menyangkut fungsi sebagai pendidik profesional, hanya dimiliki oleh guru dan atau calon guru tertentu melalui jenjang pendidikan akademik sesuai amanat undang-undang guru dan dosen no 14 tahun 2005.

Pekerjaan profesional inilah, yang kemudian kita maknai guru sebagai pendidik, pengajar, penutan, teladan atau orang yang selalu digugu dan ditiru. Kalau menggunakan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, maka guru dikenal dengan istilah Ing Ngarsa Sung Tulada, di depan memberi contoh, Ing Madya Mangun Karsa, ditengah membangun motivasi, dan Tut Wuri Handayani, di belakang menjadi kekuatan pendorong.

Hal yang menarik untuk disimak dari substansi pemikiran tersebut adalah, bagaimana proses pemberdayaan akal budi manusia, agar bebas dan merdeka sehingga mampu menaklukan alam dan merubah lingkungan masyarakat.

Guru mengambil peran untuk melanjutkan perjuangan Ki Hajar Dewantara. Tautan julukan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini, kemudian diharmonisasikan melalui lirik lagu “Hymne Guru”. Terpujilah wahai engkau Ibu bapak guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku, semua baktimu akan kuukir dalam hatiku, Sbagai prasasti terimakasiku tuk pengabdianmu, engkau sebagai pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, engkau patriot pahlawan bangsa, pembangun insan cendikia.

Pesan lagu ini menunjukan betapa pentingnya peran guru untuk mengembangkan kecerdasan anak. Karena itu, tugas guru bukan hanya sebatas mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga harus memperhatikan dan memahami kesulitan belajar anak.

Hak kebebasan dan kemerdekaan untuk belajar, sepenuhnya diberikan agar pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh mampu dipertanggungjawakan. Guru yang baik jangan melarang anak berbuat salah, justru belajar dari kesalahan, serta membuat mereka lebih percaya diri, untuk membuktikan kebenaran melalui proses eksperimen.

Sebagaimna pula kita memaknai istilah guru dalam bahasa Sansekerta, karena terdiri dari dua suku kata yaitu; GU dan RU. Dimana GU memiliki arti kegelapan, sedangkan RU berarti cahaya. Sehingga, untuk menembus kegelapan dibutuhkan cahaya guru, dan energi cahaya itu sendiri bersumber dari pelita hati guru yang muliah, tulus dan suci. Selamat Hari Guru Nasional. (*)

*Penulis adalah dosen pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Ternate