Melawan Kedunguan Politik dan Berdamai dengan Perbedaan Pilihan
Oleh: Ramli Yusuf (Akademisi IAIN Ternate)
Pemilukada telah usai, hasil quick count lembaga survey Indikator merilis posisi akhir perolehan suara dari masing-masing Paslon Pilkada Malut 2024 menunjukan angka yang bervariasi. SherlyTjuanda-Sarbin Sehe unggul telak 50,73%, menyusul Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid 25,32%, sementara Muhammad Kasuba-Basri Salama hanya mampu mengantongi 12,55% suara, dan Aliong Mus-Sahril Tahir 11,40%.
Hasil tersebut diketahui berdasarkan total suara masuk 100%, dengan tingkat partisipasi pemilih 81,07%. Tetapi hasil quick count lembaga survey ini belum bisa dijadikan dasar legitimasi hukum untuk menyatakan kemenangan terhadap salah satu paslon tertentu, sebelum KPU mengumumkan secara resmi sesuai hasil penghitungan manual secara berjenjang. KPU memiliki batas waktu untuk melakukan rekapitulasi mulai tanggal 27 november s/d 16 desember 2024.
Apapun hasilnya pilkada telah kita lewati. Kondisi secara umum relative berjalan dengan tertib, aman, nyaman dan lancar walau di beberapa TPS masih terjadi kericuhan. Sekarang tinggal kita menunggu hasil resmi KPU siapa yang akan memenangkan pertarungan ini. Tentu diantara paslon mungkin merasa tidak puas dengan hitung cepat lembaga survei.
Kemudian menyampaikan sikap melalui aksi demonstrasi adalah hal yang biasa dan wajar dalam alam demokrasi sepanjang tidak anarkis. Bahkan keadaan semacam ini selalu muncul dalam setiap konstestasi politik pemilihan kepala daerah. Namun demikian, perlu diingat, ada mekanisme hukum yang sudah disediakan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) apabila terjadi sengketa hasil pilkada serentak. Yang penting didukung dengan bukti-bukti akurat dan valid mengenai praktik kecurangan itu.
Melampiaskan amarah dan rasa ketidak puasan melalui jalan demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis bukan pilihan terbaik untuk membangun politik akal sehat dan demokrasi yang beradab. Jangan sampai kepentingan rakyat banyak kita korbankan hanya sekadar meloloskan ambisi dan birahi kekuasaan semata.
Tetapi bertarunglah secara kesatria untuk menguji kemampuan dan integritas para pendekar hukum, sehingga kita akan tahu apakah keadilan negari masih dapat ditegakan atau sudah mati suri. Sebab bagaimanapun, kita juga tidak bisa pungkiri, bahwa perbedaan angka perolehan suara di atas disebabkan karena rakyat memang punya pilihan politik yang berbeda, sehingga tidak mungkin harus disamakan apalagi dipaksakan.
Politik membutuhkan kecerdasan dan kewarasan berpikir, supaya terbuka ruang demokrasi bagi semua orang untuk menyatakan pilihan terhadap sosok pasangan calon yang idolakan. Sehingga kita dituntun oleh perilaku politik dengan cara-cara yang santun, damai dan beradab, tanpa harus saling memaksakan kehendak.
Karena kita ingin membangun politik harapan (politics of hope) yang memungkin rakyat memiliki kebebasan menggunakan hak pilih secara demokratis dan bersikap terbuka untuk menerima perbedaan. Meskipun pada akhirnya harapan itu tak pernah kunjung datang. Ternyata hanya sebatas jargon politik penuh janji-janji, soal pendidikan gratis, perbaikan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum yang berkeadilan tanpa pilih kasih, pemberantasan korupsi dan hak azasi manusia.
Kedewasaan berpolitik seperti ini menuntun kita agar selalu bersikap saling menghormati dan menghargai hak azasi setiap manusia. Karena itu proses membentuk logika politik akal sehat bagi rakyat harus dikedepankan untuk melawan politik kedunguan agar tidak menimbulkan sikap kekerasan, menebarkan ancaman, fitnah, hoaks, dan adudomba.
Dengan politik yang cerdas, maka kita akan mampu memaknai esensi demokrasi sebagai wujud pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tulis Abraham Lincoln. Hal ini berarti bahwa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Sehingga dalam proses ketatanegaraan posisi keterlibatan rakyat amat menentukan arah kebijakan pemerintahan melalui lembaga perwakilan (DPR).
Frasa kata dungu yang sering di gunakan oleh Roky Gerung tersebut hampir setiap saat hadir mewarnai diskursus politik kepemiluan kita hari ini. Orang dungu tidak mampu berpikir cerdas untuk membangun argumentasi, karena yang muncul adalah emosi dan sentiment terhadap lawan politik.
Apalagi perdebatan dalam konteks berdemokrasi, pikiran dungu agak mengalami kesulitan untuk meyakinkan pemilih galau (swing voters) terutama jelang hari pencoblosan. Berbeda dengan pemilih loyalis yang sudah menetapkan pilihan. Mereka tidak akan mudah terpengaruh dengan berbagai rayuan dalam bentuk mony politik, pemberian bansos, maupun berupa ancaman.
Lain halnya dengan pemilih rasional senantiasa mengandalkan pertimbangan pada factor etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas terhadap ketokohan pemimpin. Bukan sebaliknya survei didesain untuk kepentingan kandidat tertentu setelah rakyat diguyur berbagai bantuan. Inilah yang disebut kedunguan berpolitik yang mengabaikan akal sehat.
Maka pada akhirnya hanya akan melahirkan berbagai bentuk kecurangan dan intimidasi sebagai konsekwensi dari perilaku politik kekerasan (politics of fear) agar timbul rasa takut. Sebagaimana ditulis oleh Edmund Burke seorang filosof politik kenamaan asal Inggris, “No passion so effectually robs the maind of all its powers of acting and reasoning as fear.”Ketakutan adalah kekuatan luar biasa yang bisa membunuh nalar
Kedunguan itu timbul disebabkan karena kegagalan kita mengelola kemampuan dalam mencerna dan memahami problem politik dengan penalaran yang tajam dan logis. Meskipun kita ketahui bahwa politik itu merupakan siasat atau strategi berkontestasi untuk merebut dukungan sebanyak mungkin. Maka perlu dilakukan survey elektabilitas sehingga dapat dipakai sebagai parameter untuk memprediksi kemenangan para kandidat.
Namun yang sering kita lupa adalah kedunguan politik terkadang cenderung mencari sensasi pembenaran dengan berbagai alasan dan menghalalkan segala cara yang penting tujuannya tercapai. Pada hal kita ingin azas-azas pemilu yang demokratis jujur dan adil dapat ditegakan. Itulah sebabnya demokrasi kita sulit tumbuh secara sehat akibat kesetaraan hak-hak politik rakyat diabaikan, bahkan dipreteli oleh praktik kecurangan dilakukan secara massif. Tetapi kemudian dimentahkan para penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dikatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dengan kondisi dan realitas politik seperti ini rasa-rasanya sangat susah proses penyelesaian sengketa pemilu menemukan jalan keadilan. Sebab jika hasil sengketa dibawa ke MK, maka pilihannya hanya dua yaitu; diterima atau ditolak. Jadi sangat tergantung pada kekuatan pembuktian untuk meyakinkan hakim bahwa kecurangan itu benar-benar terjadi secara TSM, sebagaimna pengalaman pilpres yang telah kita lewati.
Meski tidak puas dan kecewa terhadap hasil kontestasi pilkada, namun begitulah fakta kualitas demokrasi yang dinginkan oleh sekelompok orang untuk mengamankan kepentingan kekuasaan dan oligarki. Tetapi masih ada jalan bagi kita membangun politik harapan (politics of hope) untuk melawan perilaku dungu akibat kegagalan memahami esensi dari makna demokrasi. Konstruksi berpikir seperti ini yang hendak kita tanamkan untuk mencerdaskan hak-hak politik rakyat, agar mampu menghargai dan berdamai dengan perbedaan pilihan. (*)
Pemilukada telah usai, hasil quick count lembaga survey Indikator merilis posisi akhir perolehan suara dari masing-masing Paslon Pilkada Malut 2024 menunjukan angka yang bervariasi. SherlyTjuanda-Sarbin Sehe unggul telak 50,73%, menyusul Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid 25,32%, sementara Muhammad Kasuba-Basri Salama hanya mampu mengantongi 12,55% suara, dan Aliong Mus-Sahril Tahir 11,40%.
Hasil tersebut diketahui berdasarkan total suara masuk 100%, dengan tingkat partisipasi pemilih 81,07%. Tetapi hasil quick count lembaga survey ini belum bisa dijadikan dasar legitimasi hukum untuk menyatakan kemenangan terhadap salah satu paslon tertentu, sebelum KPU mengumumkan secara resmi sesuai hasil penghitungan manual secara berjenjang. KPU memiliki batas waktu untuk melakukan rekapitulasi mulai tanggal 27 november s/d 16 desember 2024.
Apapun hasilnya pilkada telah kita lewati. Kondisi secara umum relative berjalan dengan tertib, aman, nyaman dan lancar walau di beberapa TPS masih terjadi kericuhan. Sekarang tinggal kita menunggu hasil resmi KPU siapa yang akan memenangkan pertarungan ini. Tentu diantara paslon mungkin merasa tidak puas dengan hitung cepat lembaga survei.
Kemudian menyampaikan sikap melalui aksi demonstrasi adalah hal yang biasa dan wajar dalam alam demokrasi sepanjang tidak anarkis. Bahkan keadaan semacam ini selalu muncul dalam setiap konstestasi politik pemilihan kepala daerah. Namun demikian, perlu diingat, ada mekanisme hukum yang sudah disediakan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) apabila terjadi sengketa hasil pilkada serentak. Yang penting didukung dengan bukti-bukti akurat dan valid mengenai praktik kecurangan itu.
Melampiaskan amarah dan rasa ketidak puasan melalui jalan demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis bukan pilihan terbaik untuk membangun politik akal sehat dan demokrasi yang beradab. Jangan sampai kepentingan rakyat banyak kita korbankan hanya sekadar meloloskan ambisi dan birahi kekuasaan semata.
Tetapi bertarunglah secara kesatria untuk menguji kemampuan dan integritas para pendekar hukum, sehingga kita akan tahu apakah keadilan negari masih dapat ditegakan atau sudah mati suri. Sebab bagaimanapun, kita juga tidak bisa pungkiri, bahwa perbedaan angka perolehan suara di atas disebabkan karena rakyat memang punya pilihan politik yang berbeda, sehingga tidak mungkin harus disamakan apalagi dipaksakan.
Politik membutuhkan kecerdasan dan kewarasan berpikir, supaya terbuka ruang demokrasi bagi semua orang untuk menyatakan pilihan terhadap sosok pasangan calon yang idolakan. Sehingga kita dituntun oleh perilaku politik dengan cara-cara yang santun, damai dan beradab, tanpa harus saling memaksakan kehendak.
Karena kita ingin membangun politik harapan (politics of hope) yang memungkin rakyat memiliki kebebasan menggunakan hak pilih secara demokratis dan bersikap terbuka untuk menerima perbedaan. Meskipun pada akhirnya harapan itu tak pernah kunjung datang. Ternyata hanya sebatas jargon politik penuh janji-janji, soal pendidikan gratis, perbaikan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum yang berkeadilan tanpa pilih kasih, pemberantasan korupsi dan hak azasi manusia.
Kedewasaan berpolitik seperti ini menuntun kita agar selalu bersikap saling menghormati dan menghargai hak azasi setiap manusia. Karena itu proses membentuk logika politik akal sehat bagi rakyat harus dikedepankan untuk melawan politik kedunguan agar tidak menimbulkan sikap kekerasan, menebarkan ancaman, fitnah, hoaks, dan adudomba.
Dengan politik yang cerdas, maka kita akan mampu memaknai esensi demokrasi sebagai wujud pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tulis Abraham Lincoln. Hal ini berarti bahwa kekuasaan atau kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Sehingga dalam proses ketatanegaraan posisi keterlibatan rakyat amat menentukan arah kebijakan pemerintahan melalui lembaga perwakilan (DPR).
Frasa kata dungu yang sering di gunakan oleh Roky Gerung tersebut hampir setiap saat hadir mewarnai diskursus politik kepemiluan kita hari ini. Orang dungu tidak mampu berpikir cerdas untuk membangun argumentasi, karena yang muncul adalah emosi dan sentiment terhadap lawan politik.
Apalagi perdebatan dalam konteks berdemokrasi, pikiran dungu agak mengalami kesulitan untuk meyakinkan pemilih galau (swing voters) terutama jelang hari pencoblosan. Berbeda dengan pemilih loyalis yang sudah menetapkan pilihan. Mereka tidak akan mudah terpengaruh dengan berbagai rayuan dalam bentuk mony politik, pemberian bansos, maupun berupa ancaman.
Lain halnya dengan pemilih rasional senantiasa mengandalkan pertimbangan pada factor etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas terhadap ketokohan pemimpin. Bukan sebaliknya survei didesain untuk kepentingan kandidat tertentu setelah rakyat diguyur berbagai bantuan. Inilah yang disebut kedunguan berpolitik yang mengabaikan akal sehat.
Maka pada akhirnya hanya akan melahirkan berbagai bentuk kecurangan dan intimidasi sebagai konsekwensi dari perilaku politik kekerasan (politics of fear) agar timbul rasa takut. Sebagaimana ditulis oleh Edmund Burke seorang filosof politik kenamaan asal Inggris, “No passion so effectually robs the maind of all its powers of acting and reasoning as fear.”Ketakutan adalah kekuatan luar biasa yang bisa membunuh nalar
Kedunguan itu timbul disebabkan karena kegagalan kita mengelola kemampuan dalam mencerna dan memahami problem politik dengan penalaran yang tajam dan logis. Meskipun kita ketahui bahwa politik itu merupakan siasat atau strategi berkontestasi untuk merebut dukungan sebanyak mungkin. Maka perlu dilakukan survey elektabilitas sehingga dapat dipakai sebagai parameter untuk memprediksi kemenangan para kandidat.
Namun yang sering kita lupa adalah kedunguan politik terkadang cenderung mencari sensasi pembenaran dengan berbagai alasan dan menghalalkan segala cara yang penting tujuannya tercapai. Pada hal kita ingin azas-azas pemilu yang demokratis jujur dan adil dapat ditegakan. Itulah sebabnya demokrasi kita sulit tumbuh secara sehat akibat kesetaraan hak-hak politik rakyat diabaikan, bahkan dipreteli oleh praktik kecurangan dilakukan secara massif. Tetapi kemudian dimentahkan para penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dikatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dengan kondisi dan realitas politik seperti ini rasa-rasanya sangat susah proses penyelesaian sengketa pemilu menemukan jalan keadilan. Sebab jika hasil sengketa dibawa ke MK, maka pilihannya hanya dua yaitu; diterima atau ditolak. Jadi sangat tergantung pada kekuatan pembuktian untuk meyakinkan hakim bahwa kecurangan itu benar-benar terjadi secara TSM, sebagaimna pengalaman pilpres yang telah kita lewati.
Meski tidak puas dan kecewa terhadap hasil kontestasi pilkada, namun begitulah fakta kualitas demokrasi yang dinginkan oleh sekelompok orang untuk mengamankan kepentingan kekuasaan dan oligarki. Tetapi masih ada jalan bagi kita membangun politik harapan (politics of hope) untuk melawan perilaku dungu akibat kegagalan memahami esensi dari makna demokrasi. Konstruksi berpikir seperti ini yang hendak kita tanamkan untuk mencerdaskan hak-hak politik rakyat, agar mampu menghargai dan berdamai dengan perbedaan pilihan. (*)